Meretas Kolonialisme, Membangun Agroindustri*
KOLONIALISME tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Keuntungan geografis yang membuat komoditas pertanian tumbuh subur di negeri ini. Nyatanya, belum mampu memberikan kesejahteraan bagi pelaku pertanian di negeri sendiri.
Sejak jaman Hindia Belanda, sampai era globalisasi ini komoditas pertanian kita tidak pernah dianggap sebelah mata oleh bangsa lain. Sektor pertanian masih menjadi andalan negeri ini sebagai penyumbang devisa negara. Data BPS menunjukan nilai ekspor komoditas pertanian lebih besar dari nilai impor. Sampai hari ini, perkebunan masih menjadi andalan komoditas ekspor. Walaupun disisi lain kebutuhan kita terhadap kebutuhan pangan sebagai bahan pokok masih tergantung impor, misalnya beras.
Berdasarkan fakta, komoditas perkebunan yang diekspor masih dalam bentuk produk mentah. Buktinya, di tahun 2008, negara yang menjadi tujuan ekspor CPO (Crude Oil Palm) mengalami resesi, CPO menumpuk di gudang, yang mengakibatkan harga CPO jatuh. Akibatnya, petani kelapa sawit merugi. Kasus ini menunjukan, komoditas pertanian kita masih berfokus pada produktivitas, bukan memberikan nilai tambah yang dapat digunakan dalam negeri.
jika masih mengandalkan pada produktivitas, tidak ada bedanya kolonialisme tanam paksa dengan kondisi saat ini. Kolonialisme modern menuntut ekspor hasil pertanian untuk memenuhi permintaan negara tujuan. Di sisi lain, petani dipaksa meningkatkan produktivitas untuk memenuhi permintaan mereka.
Salah satu opsi meretas kolonialisme modern adalah meningkatkan nilai tambah. Teori ekonomi mengatakan produk yang memiliki nilai tambah akan memberi keuntungan komersial dan sosial. Dari sisi komersial, barang yang dijual akan memberikan keuntungan ekonomis karena harga jual produk akan meningkat. Harapannya, tingkat kesejahteraan rakyat akan ikut meningkat.
Dari sisi sosial akan memberikan lapangan kerja. Agroindustri adalah rangkaian kegiatan pertanian mulai dari produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. Sebagai indutri yang berbasis sumber daya, agroindustri berpotensi dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Ciri khas agroindustri di Indonesia adalah skala kecil, yang bersifat menyebar. Hal ini menimbulkan masalah struktural yang membuat rendahnya posisi tawar di tingkat daerah. Keberadaan mereka yang pedesaan sebenarnya mampu memberikan lapangan kerja di pedesaan. Bukan sebagai buruh tani, tapi sebagai tenaga kerja industri. Namun, pemerintah daerah terkesan lebih mementingkan industri non pertanian. misalnya, di Banyumas yang memberi ruang kepada investor untuk pembangunan hotel.
Masalah kedua, adalah kurangnya sentuhan teknologi. Teknologi tidak lahir dengan sendirinya. Disinilah peran kalangan terdidik, di tingkat kalangan akademisi. Namun, kerapkali terlihat antara pemerintah, industri dan perguruan tinggi tidak sinergis dalam kebutuhan penelitian dan riset. Kita perlu banyak belajar dari India, yang memiliki visi untuk menjadikan negaranya unggul dalam teknologi kendaraan bermotor. Kemudian seakan seluruh energi penelitian untuk hal tersebut. Hasilnya, sekarang kita dengan mudah melihat kendaraan bermotor made in India. Sedangkan, kita masih berkutat pada dana penelitian yang terbatas. Disamping, mencetak teknolog pertanian yang visioner.
Rasanya, jika melihat alokasi APBN sektor pertanian hanya 1,3% dari RAPBN 2012 yang jumlahnya lebih dari Rp1.400 triliun dan sebagian besar untuk gaji pegawai. Sepertinya pemerintah tidak memiliki skenario untuk ke arah teknologi agroindustri. Agroindustri yang kecil dan tersebar tersebut masih dibiarkan menjadi industri yang minim memberikan nilai tambah. Bila hal ini terus menerus dibiarkan, pertanian akan menjadi korban dari kolonialisme modern, yang berbaju perdagangan bebas.
*tulisan ini dibuat untuk editorial Majalah Agrica 2011.
Dapatkan majalahnya ... !!! SEGERA !!!
0 komentar: