MENANTANG GLOBALISASI DENGAN AGROINDUSTRI
*esai ini pernah "mengadu peruntungan" di perlombaan esai, sayangnya belum beruntung .. heheh. Kalo ada saran, kritik, pujian, sampai hinaan, silakan sampaikan di kolom komentar :))
Globalisasi, membuat semuanya bebas. Ya, memang begitu. Saya menyebutnya sebagai perdagangan ‘telanjang’. Karena globalisasi membuat semuanya benar – benar ‘telanjang’. Produk dari negara lain dengan mudah masuk tanpa sekat. Mereka lalu bersaing dengan produk lokal. Juga sebaliknya, produk dalam negeri juga boleh dipasarkan ke luar negeri.
Di tengah gempuran globalisasi, komoditas pertanian juga terkena imbasnya. Beberapa kalangan menyebutnya ancaman. Sebagian lain menyebutnya tantangan. Di tengah sengketa itu, saya lebih memaknai globalisasi sebagai tantangan. Tentu bukan karena tak peduli kepada mereka yang bersikeras menuntut pemerintah keluar dari World Trade Organisation (WTO).
Membangun dunia pertanian tak semudah teori di atas kertas. Karena apa yang diajarkan sejak kecil tentang kondisi tanah air yang subur tidak selamanya benar. Pertanian tak hanya bergantung pada tanah subur, juga kondisi iklim yang sesuai. Dan celakanya, belakangan kita dihadapkan pada iklim yang tak tentu. Gas buangan yang berlebih menyebabkan efek rumah kaca. Ini juga dialami negara lainnya.
Klaim Indonesia negara agraris sering kita dengar. Kita punya jutaan sumber daya genetik dan terletak di khatulistiwa. Sehingga tongkat dan kayu bisa menjadi tanaman. Sejak kecil, kita telah dimanjakan dengan doktrin ini. Buku – buku sekolah dasar telah mengajari Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah. Kalau tentang hal tersebut, saya agak setuju. Jika permasalahan pertanian timbul, masalahnya bukan pada sumber dayanya, tapi pengelolaannya. Percuma memiliki sumber daya genetik yang melimpah ruah jika tidak dikelola dengan baik. Karena memang pembangunan pertanian merupakan masalah kompleks yang saling terkait dari hulu ke hilir. Berawal dari pedesaan kemudian dinikmati oleh orang di perkotaan.
Tapi sejarah juga mencatat, sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyelamatkan rakyat dari krisis ekonomi global. Kita tidak lupa peristiwa krisis 1998 silam. Ketika gejolak politik dan ekonomi kian tumbuh. Kala itu juga kita mengenal krisis moneter. Di tengah perekonomian yang kian terpuruk, ternyata pertumbuhan ekonomi sektor pertanian merangkak naik. Artinya, keberadaannya menjadi solusi penyelamat krisis sudah terbukti.
Data badan pusat statistik 2011 juga mencatat, pertanian sampai hari ini masih menjadi andalan dalam menghadapi globalisasi. Data menunjukan nilai ekspor komoditas pertanian lebih tinggi dari pada nilai impor, artinya pertanian mampu bersaing mendatangkan devisa bagi perekonomian Indonesia. Walaupun yang diekspor bukan bahan pangan yang menjadi sebuah wibawa negara agraris yang terletak di garis khatulistiwa, yaitu beras. Sesungguhnya, komoditas ekspor didominasi oleh komoditas perkebunan.
Disamping keberhasilan pertanian dalam mendatangkan devisa. Krisis di tahun 2008, tampaknya mampu menjelaskan sisi lain keberadaan komoditas perkebunan yang diekspor. Saat itu, komoditas kelapa sawit merupakan primadona komoditas ekspor, tampak tidak berdaya menghadapi krisis tersebut. Karena negara yang menjadi tujuan ekspor minyak kelapa sawit, CPO (Crude Oil Palm), kala itu sedang mengalami krisis. Akibatnya, CPO hanya menumpuk di gudang, yang mengakibatkan harga CPO lokal jatuh. Hal ini menyebabkan petani kelapa sawit merugi
Kasus ini setidaknya menunjukkan, komoditas perkebunan kita masih berfokus pada barang mentah, yaitu meningkatkan produktivitas minyak kelapa sawit. Kebanggaan pemasukan devisa masih sebatas menjual dalam bentuk dasar, bukan sebuah produk yang siap konsumsi atau sumber energi. Setelah krisis selesai, kita baru tersadar butuh industri biodiesel, sebuah agroindustri dari CPO.
Ancaman ini yang ditakutkan oleh banyak pihak. Pertanyaan menyeruak, jika masih mengandalkan pada produktivitas untuk menghadapi perdagangan bebas, apa ada bedanya dengan kolonialisme tanam paksa ? berarti sama seperti 66 tahun lalu, ketika penjajah mencari rempah –rempah. Alih - alih meningkatkan hasil pertanian dalam negeri, ternyata petani dipaksa bekerja ekstra untuk meningkatkan produktivitas tersebut agar permintaan negara tujuan terpenuhi.
Prespektif ini juga dapat menjadi tolak ukur globalisasi sebagai sebuah tantangan. Tantangan untuk menciptakan sebuah sistem bernilai tambah, yaitu pembangunan agroindustri. Agroindustri identik dengan pembangunan pertanian off farm, yaitu pembangunan pertanian dalam tindakan lepas panen (pasca panen). Agroindustri adalah sebuah rangkaian kegiatan pertanian mulai dari produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran.
Sebagai sebuah sistem, agroindustri akan memberikan minimal dua efek, yaitu memberikan keuntungan komersial dan sosial. Masalah yang terjadi pada tenaga kerja pedesaan adalah upah yang didapat sebagai buruh tani terlampau kecil. Sehingga masyarakat desa lebih memilih menjadi tenaga kerja luar negeri. Sentuhan teknologi industri pertanian akan memberikan keuntungan ekonomis karena harga jual produk akan meningkat.
Pembangunan pertanian harus mulai dari pedesaan, karena kehidupan petani berada di desa. Agroindustri yang dimaksud tentu bukan sebuah revolusi industri yang berkembang di Inggris abad 19. Tapi, industri pertanian dalam skala rumah tangga. Misalnya, di daerah Sokaraja, Kabupaten Banyumas dengan getuk goreng, produk siap konsumsi dari singkong. Singkong adalah komoditas tanaman yang mampu dikembangkan oleh masyarakat pedesaan. Dari singkong juga, sudah mulai dikembangkan menjadi bahan bakar alternatif, yaitu etanol. Harapannya, tingkat kesejahteraan petani, yang lekat pada kehidupan pedesaan akan ikut terangkat. Ini yang dimaksud keuntungan komersial.
Dari sisi sosial juga akan diuntungkan. Agroindustri bukan sekedar pengolahan komoditas pertanian yang telah panen. Namun, sebuah rangkaian mulai dari pengemasan, transportasi dan pemasaran. Sehingga tidak selalu tertuju pada teknik produktivitas hasil tanaman, tapi mulai melihat peluang kegiatan tersebut. Kegiatan seperti itu akan membuka lapangan kerja yang luas. Karena sebagai industri yang berbasis sumber daya alam, Agroindustri berpotensi dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Potensi Agroindustri bisa dilihat dari ‘oleh – oleh’ khas dari suatu daerah. Contohnya, Purwokerto dengan tempe mendoan, yang mulai merambah kota besar Jakarta. Seperti yang kita ketahui tempe berbahan dasar kacang kedelai, dari kedelai juga kita mampu membuat susu kedelai dan kripik. Negara ini terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang memiliki oleh – oleh makanan khas daerah masing –masing.
Agroindustri yang mampu berkembang adalah yang sifat usahanya skala kecil, sejenis Unit Mikro Kecil Menengah (UMKM), dan menyebar di pedesaan. Tapi hal ini dapat menimbulkan permasalahan struktural. Posisi tawarnya terhadap pemerintah daerah rendah, sehingga pemerintah daerah lebih memprioritaskan investasi untuk skala industri besar non agroindustri yang sedang berkembang di daerah belakangan ini, seperti mall, pusat rekreasi dan pariwisata.
Kemudian, masalah yang sering dihadapi oleh sektor pertanian adalah kurangnya sentuhan teknologi. Pembangunan Agroindustri sebagai tindakan pasca panen mutlak memerlukan teknologi. Teknologi tidak lahir dengan sendirinya. Disinilah peran kalangan terdidik di tingkat kalangan mahasiswa. Sebuah visi pembangunan pertanian harus datang dari kaum muda. Saya menyadari, sebagai generasi yang dilahirkan jaman serba instan, tanam – menanam merupakan kegiatan yang asing. Sebagian mungkin menilai menanam sebuah proses kegiatan yang menjemukan. Tapi teknologi Agroindustri bukan melulu soal menanam. Tapi bagaimana memikirkan agar hasil tanaman tidak langsung dijual atau dimakan, lalu habis.
Sebuah visi juga harus datang dari pengelola negeri ini. Namun, kerapkali terlihat antara pemerintah, industri dan perguruan tinggi tidak sinergis dalam kebutuhan penelitian dan riset. Kita perlu banyak belajar dari India, yang memiliki visi untuk menjadikan negaranya unggul dalam teknologi kendaraan bermotor. Kemudian, seakan seluruh energi penelitian untuk hal tersebut. Hasilnya, sekarang kita dengan mudah melihat kendaraan bermotor made in India. Kita sudah berulang kali diselamatkan dari krisis oleh sektor pertanian, bukan tidak mungkin penelitian dan riset dipusatkan pada hal ini. Toh, kita adalah pemilik kekayaan sumber daya hayati terbesar di dunia. Tapi masih banyak yang belum dieksplorasi.
Agroindustri mengusung sebuah perubahan mendasar dalam pengelolaan pertanian. Pertanian yang berorientasi hasil produksi (on farm) bertransformasi menjadi industri teknologi lepas panen (off farm). Sehingga, masalah keterbatasan lahan yang kerap kali menjadi persoalan pertanian dapat teratasi. Salah satu negara yang mampu membangun agroindustri adalah Swiss, negara penghasil cokelat berkelas tinggi, ternyata tidak memiliki lahan untuk menanam cokelat. Tapi mampu mengolah kakao (bahan dasar cokelat) hasil dari tanah Indonesia.
Akhir –akhir ini, kita juga merasakan krisis global kembali terjadi. Pertanian terbukti telah menjadi sebuah solusi penyelamatan krisis di tahun 1998 dan 2008. Bila terbukti di tahun ini, sektor pertanian dapat menyelamatkan kondisi perekonomian di tengah krisis, tentu ini bukan sebuah kebetulan. Jika kita masih terlena dengan orientasi hasil jangka pendek, yaitu devisa. Maka kita akan kalah start dengan negara lain. Visi pembangunan agroindustri harus dimulai dari sekarang. Semua energi harus diarahkan ke sumber daya pedesaan, karena pertanian berasal dari sana.
Di jaman serba digitalisasi dan modernisasi akan membuat sistem ekonomi berjalan sesuai perkembangan jaman. Jika menutup mata dengan hal ini akan membuat bangsa kita menjadi ‘katak dalam tempurung’. Perdagangan tanpa sekat alias ‘telanjang’ akan menuntut sebuah persaingan yang bebas pula. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menantang itu, kapan lagi kalau tidak sekarang ?
0 komentar: