Dicari : Presiden Sakti Mandraguna

Thursday, July 12, 2012 Standy Christianto 0 Comments


Indonesia, dari ujung Sabang sampai Merauke.  Luas wilayahnya sebagian besar air, alias laut. Daratannya terbentang luas. Belasan ribu pulau dipisahkan air. Setiap pulau punya beragam suku, ras, adat, dan kepercayaan. Penduduknya terpadat nomor empat di dunia. Negara kepulauan terbesar di dunia. Ibarat sebuah pecahan kaca yang terberai, perlu presiden Sakti Madraguna alias maha berpengetahuan untuk menyatukan berbagai keragaman itu untuk menjadi satu : INDONESIA.

Sebagian yang merindukan kemerdekaan terenyuh, sudah merdeka 67 tahun namun tak benar – benar merdeka. Para petinggi negeri bangga rayakan  satu abad kebangkitan nasional, tapi banyak yang bilang belum ada yang bisa dibanggakan. Indonesia berkali – kali ganti presiden hanya bisa mengantarkan ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia. Lalu kita bertanya, apakah rakyat hanya untuk diantarkan sampai pintu gerbang ? Tidak masuk  ke tempat yang katanya merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


Rakyat mencari sosok yang melindungi semua elemen bangsa, Presiden Sakti Mandraguna adalah presiden yang mampu melindungi rakyatnya, seperti seekor induk burung tinggal di sarang, melindungi anak – anaknya dari ancaman mahluk asing. Sang induk harus berani keluar sarang, berada di garda depan. Presiden Sakti Mandraguna mampu memberikan “gertakan” untuk oknum yang meresahkan kaum minoritas. Menindak tegas oknum yang gunakan kelakuan bar – bar mengusik minoritas. Supaya tidak ada lagi seperti jemaat GKI Yasmin yang rela menunaikan kewajiban kepada Sang Kuasa di halaman Istana Negara  karena ingin didengarkan suaranya oleh  Sang Pemilik Istana.

Secercah harapan presiden di hingar-bingar kemenangan pemilu. Rakyat dibuat bingung dengan janji. Janji  manis kampanye dan harapan bercampur menjadi satu.  Ada semangat  gunakan hak pilih. Dalam demokrasi, sebenarnya juga ada hak untuk jadi golongan putih. Sebagian besar percaya alasan itu bukan muncul dari nurani optimis.

Presiden Sakti Mandraguna adalah presiden yang memiliki integritas, memiliki pikiran, perkataan dan perbuatan sejalan, tidak pernah bertentangan. “Katakan tidak pada korupsi !” tidak hanya sekedar tag line. Bukan selayak pedagang obat menawarkan penawar racun. Tapi sebenarnya, obat itu tidak benar – benar dapat menyembuhkan. Sakti  Madraguna bukan juru kampanye, alias pedagang obat omong kosong. Asal partainya laku, tidak peduli saat memimpin kelak. Ia harus mampu memberikan jaminan kepada rakyat meminta konsekuensi harga yang harus dibayar saat tindakan dan perkataan tidak sejalan. Tidak menyalahkan rakyat saat menuntut ketegasan.

Presiden Sakti Madraguna bukan pemimpin berpenampilan manis di depan mikrofon, sembari berpidato menenangkan hati rakyat yang galau melihat kondisi negeri ini. Sakti Mandraguna adalah pemimpin yang mampu berani angkat suara walaupun keadaan mendesak. Ia tidak akan tega melihat rakyat menanti terlalu lama mencari sebuah jawaban atas kegalauannya. Ia tidak sengaja membiarkan isu yang berkembang menjadi bola panas,  kemudian memberikan komentar laiknya pahlawan kesiangan.

Presiden Sakti Mandraguna harus lahir dari tanah Indonesia. Entah dari Aceh atau Papua. Jiwanya adalah seorang nasionalis. Karena rakyat  gerah melihat kondisi ini. Negara gemah ripah loh jinawi, tapi tidak bisa bertahan dari kekayaan alam sendiri. Tak dipungkiri, Indonesia sedang berada dalam perdagangan global, seperti sebuah mobil besar yang melindas apa pun yang di depannya bila tidak melawan.  Maka dari itu, kita butuh presiden yang revolusioner. Mengakar dari budaya Indonesia, bukan menyerah pada tuntutan pasar global apalagi menyerah pada kekuatan pasar dunia.

Kekuatan sesuatu bangsa terletak dari kemampuan pemimpin untuk menjaga nama baik negaranya lebih dari  partai, daerah, bahkan keluarganya sendiri. Seorang yang mampu mengambil keputusan meskipun itu merusak popularitasnya sendiri. Presiden Sakti Madraguna adalah negarawan yang tidak rela menggadaikan negara dengan apa pun, termasuk harga diri dan nama baiknya sendiri.

Sakti Madraguna, termasuk menghargai perbedaan. Presiden yang menyadari Indonesia berada dalam negara yang memiliki sumber daya manusia yang besar. Ada 240 juta masyarat, artinya memimpin Indonesia adalah memimpim keberagaman. Maka melihat indonesia tidak bisa dari satu kacamata kedaerahan. Keberagaman di Republik Indonesia tidak bisa diukur, sulit memisahkan saya dari golongan ini, dan kamu dari golongan itu. Kepimimpinan nasional harus bisa menyelaraskan keberagaman itu yang terpisah  antar pulau. Presiden Sakti Madraguna tahu sejarah, bahwa ideologis yang paling tepat dalam keberagaman keindonesiaan adalah ideologi Pancasila.

Price water house cooper, sebuah lembaga ekonomi kelas dunia, telah memetakan ekonomi Indonesia sebagai negara ekonomi terbesar pada tahun 2025, dalam laporan mereka menyebutkan Indonesia akan bersanding dengan 16 negara lainnya, termasuk Jepang, Cina, Jerman, dan Inggris. Inilah bukti, negara lain melihat Indonesia sebagai negara kuat kelak, maka kita harus memiliki presiden yang visioner. Tidak sedang melihat Indonesia sebagai negara yang kerdil. Sehingga takut kepada tuntutan negara lain, karena ketergantungan hasil bumi negara lain. Indonesia butuh sosok Sakti Mandraguna a la Bung Karno dan Bung hatta versi Refomasi. “ Lebih baik negeri kita tenggelam karena dikelola oleh bangsa sendiri, dari pada diserahkan kepada orang asing, ” begitu kata Bung Hatta. Ini harus menjadi landasan perjuangan seorang Presiden.

Sakti Madraguna bertindak sesuai dengan hati nuraninya. Karena apa yang berasal dari hati akan menyentuh hati. Artinya, Jika memang ia menggunakan hati nuraninya, rakyat akan memahami. Walaupun tindakannya sedikit ngawur. Presiden memang harus patuh terhadap protokoler, tapi jika malah membatasi hati nuraninya. Maka harus berani menerobos itu. “Berani karena benar” tidaklah cukup. Bila memang diperlukan, menggunakan tindakan “Ngawur karena benar”. Misalnya yang dilakukan Dahlan Iskan, Menteri BUMN membuka jalan TOL gratis karena tidak tahan melihat kemacetan.

Buku – buku tentang  kepimpinan laku keras. Tapi jangan harap mendapatkan kriteria pemimpin negara dari sana. Karena menjadi presiden adalah sebuah panggilan. Sama seperti seorang guru yang terpanggil untuk mengajar. Begitu juga seorang presiden. Panggilan itulah yang murni, tanpa niat sama sekali untuk menjadi penguasa negeri. Dari mana kita dapat melihat panggilan itu ? Panggilan dapat dilihat dari sepak terjangnya selama ini. Orang yang terpanggil bukan pemimpin yang karbitan.

Terakhir, Presiden Sakti Mandraguna adalah seorang pelayan. Pelayan yang terpanggil untuk merawat dan melayani  negara. Kita butuh seorang pejuang seperti Nelson Mandela, memperjuangkan hak kaum kulit hitam, kaum termajinalkan, tapi juga memiliki hati seperti Bunda Theresa, meninggalkan kemewahan, lalu turun ke bawah untuk merawat yang sakit. Semoga.

You Might Also Like

0 komentar: