Ada
garis pemisah yang jelas diantara semesta yang sangat luas ini. Pertarungan narsisme di hadapan Tuhan salah
satu penyebanya. Mereka mengambil dalil kitab suci untuk justifikasi. Garis itu
dibuat sangat jelas, memisahkan yang mau dekat dengan Tuhan penciptanya. Narsisme dihadapan Tuhan seakan memaksa
manusia mampu untuk memilih daerah mana yang bisa mereka tempatkan. Garis itu
memisahkan menjadi dua tempat : suci dan
keji.
Manusia
menguasai daerah yang keji dan suci. Dalil mereka : yang terlanjur berdosa di hadapan
Tuhan tidak akan dapat tempat dimana pun. Baik di semesta atau kehidupan
setelah kematian. Mereka memisahkan
diri, menarik diri untuk mencari Tuhan di tempat suci dan tidak bernoda agar
dapat sorga kelak.
Di
daerah tempat yang berdosa, tidak ada tempat lagi untuk percaya kepada Tuhan.
Apalagi, diberikan kesempatan untuk menikmati ketenangan menjadi manusia. Tidak
ada kesempatan mereka untuk mencari kebutuhan dasar sebagai manusia : bertahan untuk hidup.
Ada
yang seakan mewakili Tuhan untuk menciptakan neraka di bumi. Mereka mencari –
cari orang berdosa di tempat pelacuran, di tempat kumpul preman, di hotel melati, dan warung minuman keras.
Narsisme
bisa jadi tidak hanya di depan manusia lain, tapi juga dihadapan Tuhan.
Narsisme juga lahir dari menjalankan dalil kitab suci, melakukan yang baik bagi
Tuhan.
Narsisme
dalam bahasa kita, adalah hal (keadaan) mencintai
diri sendiri secara berlebihan. Mencintai diri sendiri mulai masuk ke ruang kesalehan.
Diri sendiri merasa (pasti) dicintai
oleh Tuhan dengan tindakan – tindakan kealiman. Apalagi jika mampu
menghanguskan manusia berdosa dihadapan Tuhan. Mereka merasa (mampu) mewakili
Tuhan. Mereka ingin menjadi nabi,
polisi, atau semacamnya, untuk menjaga kata – kata Tuhan agar tidak
diselewengkan. Yang penting membumihanguska yang berdosa. Bumi adalah neraka
buat mereka yang belok di jalanNya.
Apakah Tuhan ditemukan di orang – orang yang narsisme, saya tidak
tahu. Tapi yang saya tahu membuat orang yang mencari Tuhan akan berhenti.
Berteriak dengan nama Tuhan dengan kekerasan sesama manusia, sama saja
melakukannya itu secara non verbal kepada Tuhan. Nama Tuhan menjadi tercemar.
Manusia mana yang mau hidup dengan dosanya? Jika ia tidak
terpaksa, terjerumus, atau yang paling parah memang prilaku yang buruk.
Pencarian terhadap Tuhan tidak akan pernah selesai, kecuali jika
hidup telah berakhir. Bagi orang yang percaya dengan adanya kehidupan setelah
kematian, telah disiapkan tempat untuk mereka yang suci dan berdosa.
Justifikasi biarlah diserahkan kepada kehidupan lain setelah
kematian. Yang saya pahami manusia harus dihargai oleh manusia, tanpa
indentitasnya, apa pun agamanya, suku, etnis, prilakunya, bahkan dosanya...
0 komentar: