Ruang dan Waktu,

Tuesday, July 30, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Semakin bertumbuh akan semakin tahu, kenyataan memang lebih kejam.  Kenyataan merupakan ancaman buat mereka yang belum paham tentang apa itu ruang dan waktu. Ruang dan waktu menjadi hal utama dalam pertimbangan pilihan. Dunia membutuhkan kecakapan menempati ruang dan kecepatan waktu. Keduanya saling beradu dalam sebuah keberadaan.

Ruang menjadi tolak ukur kemampuan. Sifat air, ia mampu menempati ruang ke segala sisi. Mendesak dinding gelas mengikuti gesturnya, melekat dengan perbedaan jenis yang disebut adhesi. Ia dapat menjadi kawan dan melawan dengan menyaru kuat padahal sebenarnya ia berbeda. Ia menjadi kuat berdiri dengan eksistensinya tanpa bercampur dengan apa pun. Memiliki massa sendri, tolak ukurnya hanya satu : menempati ruang.

Nietzsche mengagumi manusia menjadi utuh dengan segala kemarahannya, dendamnya, dan juga ketakutannya. Ia pun tidak percaya dengan maaf, baginya itu adalah ketidakmampuan manusia melawan. Maaf adalah berhala bagi orang yang takut menghadapi perlawanan. Menghamba ketakutan akan menambah  perbudakan. Pemakluman maaf bukan sifat dasar, apalagi karena ketakutan sendiri mengahadapi sesuatu.

Ada lagi biang perbudakan. Manusia adalah budak waktu. Lebih dari apapun, setiap jengkal kehidupan dipaksa oleh waktu. Kita menghamba kepada waktu yang terus berkejaran. Kita menjadi manusia karena waktu. Bekerja untuk waktu. Dan itulah yang menjadikannya kita tetap hidup. Gaji dari waktu bekerja. Kita diperbudak oleh waktu.

Lihat saja orang yang dituntut menikah, karena keburu tua. Kosmetik laku keras agar tampak muda. Ia melawan keberingasan waktu. Ia punya pleidoi dalam bentuk zat kimia sintetik untuk menjelaskan, “saya bukan korban waktu yang lambat laun akan menua”.

Keinginan dipasung oleh waktu. Ia menjadi runyam, tidak lagi bebas berkeinginan karena waktu. Entah dalam bentuk uang maupun usia.

Ruang dan waktu tempat dimana manusia mangadu. Manusia yang tidak mampu menggagahi ruang dan waktu adalah orang yang terburuk sedunia. Ia tidak bisa menikmati ruangan ia berdiri. Jika tidak memiliki tempat berkontemplasi untuk mengurutkan hidupnya dari hari ke hari, ia tidak akan mampu menjelaskan makna yang terkandung.

Manusia membatasi dirinya dengan waktu, ia tidak akan bebas. Padahal di setiap kepala muncul sifat pembebas. Otak di biarkan mengalir bebas tanpa sekat. Teori evolusi mampu menjelaskan peradaban manusia yang semakin meningkat seiring dengan jumlah volume otaknya. Manusia purba memang tidak pernah memakai jam tangan. Sehingga kemampuannya meningkat, mampu berkarya sehari demi sehari.

Kodrat manusia menurut Marx adalah menghasilkan karya, alih - alih bebas berkarya, malah dipaksa bekerja. Selurus dengan itu, setiap jejak langkah akan meninggalkan bekas, yang saya sebut sebagai karya. Manusia tidaklah bekerja, tapi berkarya. Saya tidak suka dengan kerja, karena kerja sama dengan perbudakan. Tidak ada yang suka dengan perbudakan.

Konteks ruang dan waktu menjadi sangat sederhana buat saya. Ia melekat menjadi satu. Manusia sering kali tidak sadar ruang dan waktu adalah kemampuan manusia itu sendiri dalam memaknai keberadaannnya. Dimana ia berdiri, ia akan mecoba menempati ruang agar terus ia disana. Manusia diciptakan untuk survival. Kemudian seburuk – buruknya manusia, ia pasti akan melihat ruang untuk ditempati sedemikian rupa untuk berkarya, ia juga akan berbenturan dengan waktu yang terbatas dan berkejaran. 


You Might Also Like

0 komentar: