Before Sunset dan Sunrise : Tanggapan untuk Dian,

Friday, December 27, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Dian, film ini sadis.
Aku tidak melewatkan obrolan antar kedua orang yang sedang menikmati pertemuan mereka. Film yang dibuat 1995, 9 tahun setelahnya dibuat sekuelnya di 2004 ini, masih relevan untuk ditonton. aku sangka ini semacam film romantis korea, yang mengaduk perasaan dan  membunuh logika berpikir. 

Aku mulai mengikuti pertemuan yang tidak sengaja di kereta antara Jesse dan Celine. Mereka asik mengobrol dari hal yang paling sederhana sampai rumit. Mulai dari darimana mereka berasal, sampai mau kemana ia pergi. Keduanya asik membahas yang mereka suka. Dari asal yang berbeda, tapi seolah sudah lama bertemu. 

Dian, kamu benar.
Seperti berada dalam kereta yang sedang melaju, saat kita ngobrol dengan orang yang cocok, mau berapa pun jauhnya kereta melaju kita tidak akan bosan. Entah apa pun yang diperbincangkan, kita selalu menikmati setiap kata yang keluar. Kita menangkap kata demi kata seperti hipnotis tanpa ampun. Tak terpejam, apalagi diselingi tawa kecil. Kita tidak merasa menjadi manusia aneh karena ada banyak kesamaan dari tiap cerita.

Dian, tahukah kamu?
kalau film ini kisah nyata dari sang sutradara, Richard Linklater mengalami “Magical Moment”. Ia bertemu dengan Amy sehari, dan menghabiskan waktu bersama sembari mengobrol dan jalan-jalan mengelilingi Philadelphia. Kemudian bertahun- tahun mereka tidak pernah bertemu lagi. Naasnya, Setelah sutradara membuat Film Before Sunrise, ia mendapatkan kabar kalau Amy telah meninggal karena kecelakaan. Di tahun 2013, Before Midnight sengaja dirilis untuk mengenang Amy. Pantas ceritanya begitu legit.


Mungkin tiap orang sama saja. Dengan segala pikiranku. Menyukai hal – hal yang tidak banyak orang suka. Seperti robot curiosty, yang dikirim ke Mars, mencari tanda- tanda kehidupan di sana. Aku suka mengobrol dengan banyak orang demi mencari teman berpikir. Suka mencoba menerjemahkan pikiran orang, berusaha mencari apa yang mereka suka dan aku suka juga. Tidak banyak yang bisa aku imbangi. Entah aku yang terlalu “jongkok” berpikir, atau aku yang terlalu tinggi.

Dian, aku setuju dengan permintaan Jesse kepada Celine.
Ia memintanya untuk menemani satu hari saja  di Viena, Austria, daripada ia harus mati kesepian dengan kopi hitam dan buku-bukunya demi menunggu pesawatnya. Jesse sungguh beruntung, ia bisa mengobrol dengan celine berjam-jam. Jalan – jalan yang tidak tentu arah, karena memang arah yang jelas kadang malah membuat takut dan membingungkan. Lebih baik tidak tahu arah jalan, tapi ada yang menemani.

Dian, aku suka film karena pesannya.
Aku suka film genre drama (tidak harus romantis) tapi membuat berpikir tentang pesan yang terkandung. Sartre, seorang pemikir eksistensialis, yakin setiap orang adalah egois, yang berdiri sendiri. Kehadiran setiap orang tidak boleh meniadakan sisi lain dari orang itu. Suatu saat, setiap orang akan bertemu dengan ‘bagian dari dirinya’. Artinya, dia akan bertemu dengan dirinya di dalam diri orang lain. Aku mengikuti tiap menit dari film ini, apakah pesan itu yang dimaksud?

Dian, Before Sunset (2004) lebih romantis.
Di sekuel ini, karakter Jesse dan Coline lebih dewasa, tidak kekanak-kanakan waktu pertama kali bertemu. Di sekuel pertama kebanyakan sentuhan fisik. Romantis telah direduksi oleh film-film memuakkan. Selalu menonjolkan rayuan dan cumbuan. Otak penonton diracuni oleh birahi.

Disini jesse dan coline sangat romantis. Mereka mengobrol dengan minum kopi, berjalan – jalan di Paris, menikmati senja di dek kapal. Romantisme dibangun dari tawa kecil dan obrolan yang nyambung.

Romantisme itu seperti sepasang kakek dan nenek renta yang berjualan angkringan untuk menghidupi mereka, menunggu pelanggan sembari bersenda gurau dan  mengobrol  sampai pagi.  Apalah yang bisa dilakukan kelak tubuh melemah, selain  mengobrol sampai mati.

Dian, aku tidak suka film dengan konflik darah dan senjata.
Obrolan antara Jesse dan Coline tidak banyak konflik, satu-satunya konflik adalah penyesalan. Kenangan satu hari di Viena masih diingat sampai 9 tahun kemudian saat mereka bertemu di Paris. Benar kata Celine, “Kenangan adalah sesuatu yang indah jika kamu tidak harus berurusan dengan masa lalu,”. Mereka menyesal tidak lagi bisa bersama. Karena punya pilihannya masing-masing. Tapi masih bisa mengobrol. Aku tidak terlalu suka dengan film yang sad ending.  Film ini dibuat menggantung. Diakhir cerita, mereka tidak pernah bersama. Hanya ngobrol ngalor ngidul. Menyedihkan.

Dian, suatu hari  tiap orang mungkin akan mengalaminya.
Aku kutip tulisanmu, ”waktu kita ngobrol aku merasa seperti membaca buku di kereta. Bikin aku betah. Ini lebih menyenangkan ketimbang mendengarkan adu mulut acara berita di televisi”



***

You Might Also Like

0 komentar: