Katarsis,
Saat aku sedang iseng membaca tulisan
di dunia maya, aku menemukan sebuah kata yang begitu bagus untuk menggambarkan
sebuah tulisan yang bercampur emosi si penulis. Kata itu bernama KATARSIS.
Istilah ini mampu menggambarkan situasi si penulis ketika menulis. Buatku, menulis
adalah terapi emosi yang paling baik. Menulis adalah suara yang tersembunyi
dalam huruf.
Merujuk pada itu, katarsis adalah
perasaan yang melegakan ketika seorang penulis berhasil menyelesaikan pekerjaannya.
Perasaan kelegaan itu mampu menjadi semacam terapi bagi penulis. Dan aku
merasakan itu. Emosi antara kemarahan, ketidakmampuan, keyakinan,
ketidakyakinan, dan segala hal yang campur aduk itu menjadi satu.
Tulisan Goenawan Mohammad, esais
usia 70an tahun itu, sungguh dapat mewakili itu. Saat aku membacanya beberapa
tulisannya yang menggunakan intuisi seakan aku larut dalam tulisan itu, mungkin
karena aku tidak mahir menerjemahkan tulisan yang terlalu rasio.
Katarsis, perasaan yang melegakan
itu juga berpengaruh terhadap pembaca ketika membaca tulisan itu. Aku mengambil
contoh esai favorit saya berjudul “ Di Korinthus”. GM mencoba memaknai cinta, dan
mencoba merefleksikan itu dari kata ke kata. Korintus adalah sebuah surat
bahasa ibrani, surat yang ditulis kepada penduduk kota korintus dalam
perjanjian baru. Latar belakang penulisan surat itu karena Kota Korintus yang hancur berantakan,
penduduk kota yang saling berperang saudara, dan kacau balau.
GM mencoba merefleksikan cinta.
Surat ini juga dikutip oleh Karen Amstrong dalam bukunya, yang menggambarkan
cinta atau kasih kepada sesama manusia adalah inti dari jaman sebelum agama
lahir. Mother Teresa juga menggunakan ini dalam kata- kata bijaknya. Mahatma
Gandhi juga menggunakan ini.
Hari ini, aku mencoba merefleksikan
ini. Mencoba untuk merasakan katarsis itu. Ini contoh tulisan GM :
di Korinthus,
“Cinta itu sabar…”. Perempuan itu
mendengar. Di gedung yang tak dihuni itu, di bawah bulan yang nyaris seperti
limau, seseorang datang membacakan surat-surat itu sepotong-sepotong:
lembar-lembar di sampul kulit yang sumbing dan berdaki.
Ada yang mengatakan seorang Suriah telah
membawanya melewati gurun. Tapi perempuan itu lebih senang membayangkan seekor
sphinx yang terbang karena ia menyukai mimpi.
Tiga hadirin lain sedikit gugup. Ia
mencoba mengingat-ingat wajah penulis yang pernah singgah itu — ia disebut
“rasul” – dan memang ada seorang pembuat tenda dengan tunik lengan pendek yang
dulu menginap di antara puing yang tersisa di Korinthus. Tapi kini hanya terasa
kembali apa yang terpercik dari kata-kata si tua: harapan itu dalam namun jauh.
Lewat tengah malam, seekor kucing
berjalan melintasi peristilium, seperti bayangan abu-abu, tapi lentur, nyaris
tak terlihat, mungkin ia dewa yang terusir. Di sisi yang agak gelap dari
beranda si pendatang meneruskan baris berikutnya: “Cinta tak irihati…”. Suara
itu, dengan logat awak kapal, sedikit bergetar, sedikit asing. Atau mungkin
hanya karena angin.
Di luar: jalanan kota tidur. Tak
sengaja. Bukit di utara seakan-akan canggung menunggu fajar, dan kini perempuan
itu menyimak gema yang terhimpun di teluk dari ombak yang bersungut. “Cinta tak
menyombongkan diri”, kalimat berikutnya dibacakan, dan ia ingat sebuah sajak
tentang camar yang menghilang, entah kenapa.
Berdiri di antara dua tiang yang gumpil,
ia, yang merasakan malam tambah dingin, mengetatkan syalnya pada pundak.
Seorang lelaki lain kini mengambil lembar-lembar itu dari si pendatang dan ia
melihat sejumlah kalimat yang nyaris terhapus: “Cinta menanggungkan segalanya,
percaya segalanya”. Ia membacanya keras-keras seakan-akan ada yang harus
dikatakan kepada tanah genting yang kosong itu.
Ini contoh surat asli, saya kutip
dari Karen Amstrong :
Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa
malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang
berkumandang dan canang yang bergemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia
untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh
pengetahuan, dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan
gunung, tetapi jika aku tidak memiliki kasih, aku sama sekali tidak berguna.
Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan
menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih,
sedikitnya tidak ada faedahnya bagiku.
Kutipan lainnnya, setidaknya ini bisa melegakan ...
Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu,. Ia tidak
memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan
tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan
kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena
kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan
segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
0 komentar: