Kepentingan Akar Rumput dan Konflik Elite
Tidak semua paham dengan benturan. Juga tidak semua
merasakan benturan. Dalam struktur masyarakat juga demikian. Saya suka
membagi struktur menjadi dua, kelompok elite
dan kelompok akar rumput. Kelompok elite ini yang disebut memiliki jabatan dan
kuasa, dan kelompok akar rumpur adalah kelompok yang tidak memiliki kepentingan
jabatan dan kuasa. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, kelompok atas dan
bawah.
Konflik elitis berkutat pada konflik yang bersifat
kekuasaan, yang sebenarnya konflik yang itu-itu saja. Misalnya pembagian
kekuasaan, gengsi jabatan, dan uang. Para elite punya quotes andalan “posisi
yang semakin tinggi akan semakin banyak angin yang menghempas” entah apa yang
diperjuangkan oleh para elite, namun konflik itu yang akan terjadi itu-itu
saja.
Ironinya adalah kegaduhan tingkat elite seringkali tidak
dipedulikan oleh akar rumput. Misalnya, kegaduhan Pilpres 2014 yang
memperebutkan posisi paling elite, yaitu presiden. Coba tanyakan saja kepada
tukang angkringan, mereka tidak peduli dengan kegaduhan itu. Bagi mereka
siapapun yang jadi presiden, yang
penting jualan mereka laku, dan keluarga masih bisa makan.
Konflik elite seringkali tidak dipahami oleh akar rumput.
Mengapa mereka ribut ? lalu apa yang sedang mereka perjuangkan ? jika atas nama
rakyat diperjuangankan, rakyat (baca : tukang angkringan) toh tidak paham yang
diributkan.
Suatu kali saya membuat sekolah komunitas, untuk
melakukan intervensi sosial kecil-kecilan dengan pembuatan coklat. Mengapa
Cokelat ? karena hampir semua wanita menyukai cokelat. Hal ini kelihatan
menarik bagi mereka. Ternyata benar, terlihat mereka menikmati kegiatan
tersebut. Ada senyum di wajah mereka.
Saya pikir ini mungkin menjadi ‘mainan’ baru di tengah aktivitas rutin mereka
selain bekerja menjaja diri. Halini jika dilakukan terus menerus bisa mengubah cara tindakan dan pikiran
mereka.
Jika sekolah komunitas diminta sendiri oleh akar rumput, maka
intervensi sosial akan terjadi. Keinginan kami membuat coklat tidak sekali, namun
berkali –kali dilakukan. Syaratnya, pembuatan coklat selanjutnya memang diminta
oleh mereka. Bukan oleh kami.
Harapannya, melalui intervensi itu kemudian disusupi materi tentang
kesadaran kritis sesuai kebutuhan mereka. Termasuk kesadaran untuk keluar dari
tempat tidak beradab ini. Sedikit demi sedikit akan menjadi bukit. Brain washing akan dilakukan berbalut cokelat. Melalui cokelat itu,
mudah-mudahan ada jalan masuk perubahan berpikir masyarakat.
Di sisi yang lain, ada benturan yang keras untuk
pendirian klinik komunitas. Dengan adanya klinik, sebenarnya bisa membantu
dalam mengontrol kesehatan, terutama epedemi HIV. Dari sudut subjektif, saya
pikir pendirian klinik dengan alasan kemanusiaan amat tepat, karena di klinik
umum mereka sering mendapatkan perlakukan diskriminasi baik dari petugas
kesehatan maupun dari masyarakat sekitar. Ternyata memberikan layanan kesehatan
untuk komunitas yang termajinalkan tidak semudah itu. Pendirian klinik
terbentur masalah etis, yaitu persepsi masyarakat umum. Pendirian klinik
komunitas terbentur persepsi masyarakat tentang legalisasi lokalisasi dan
perijinan.
Benturan elite pun terjadi, benang kusut mulai mengusut.
Bola mengelinding di tingkat elite. Pendirian klinik mulai dipermasalahkan.
Selain terbentur masalah ijin, kemudian mengelinding ke pembagian keuntungan.
Para elite mempersoalkan bagaimana cara membagi ‘kue’ mulai dari ijin,
infrastruktur, perlengkapan, dokter, perawat, dan lain sebagainya. Akhirnya,
klinik terbengkalai.
Terlepas dari permasalahan itu, saya sedang
membanyangkan apa yang dipikirkan dari akar rumput di komunitas itu? Apakah mereka peduli dengan pembagian keuntungan
itu ? entahlah, saya tidak pernah mensurvei tingkat kepedulian mereka. Saya lebih
senang memikirkan jawaban dari pertanyaan semalam, “mas, kapan kita bikin
cokelat lagi?”
.... Mei 2014
0 komentar: