Ruangan itu
tampak besar. Meja sengaja disusun melingkar dengan microphone di meja, menandakan itu ruang rapat. Suasana pun tampak
tegang. Maklum, itu rapat petinggi lembaga pendidikan tinggi.
Disisi lain,
siapapun yang baru pernah disana akan merasa nyaman. Sandaran kursinya tinggi
dan empuk. Ruang pendingin pun memanjakan suhu di sekitar. Sampai – sampai
peserta rapat sesekali tertidur.
Di tengah
kedinginan, pikiran saya melesat jauh ke belakang , dalam hati muncul
pertanyaan, apakah rapat – rapat penentuan bayaran kuliah sebelumnya juga
seperti ini?
Rapat dibuka
dengan perbandingan nilai nominal uang kuliah di beberapa universitas lain. Layar menunjukkan bayaran tertinggi sampai
terendah. Saya tidak melihat biaya kurang dari 3 jt/semester disana.
Mudah-mudah saya tidak salah melihat bahwa biaya termurah adalah 4 juta. Saya pikir, itu representatif dari bayaran
kuliah Perguruan tinggi negeri di Indonesia saat ini.
Namun saya tidak
habis pikir dengan respon petinggi – petinggi lembaga pendidikan ketika meilhat
layar tersebut. Saya juga tidak bisa menebak alasan mengapa pemimpin rapat menunjukan biaya perguruan
tinggi lain di awal rapat. Yang saya
tahu, setelah itu mereka mulai menentukan ragu – ragu dengan membandingkan
nominal biaya kuliah tempat lain.
Buat saya
ini mungkin gengsi. Tapi saya juga bisa salah. Mungkin Para petinggi tidak rela
kampusnya lebih murah dari kampus lain. Kalau
biaya kuliah murah artinya mereka bekerja di kampus yang murah. Kampus yang murah tentu tidak sesuai dengan
pakaian dan mobil mereka yang necis.
Logika saya
tampaknya tidak bisa menerima bahwa mencetak manusia Indonesia yang cerdas
harus mahal. Dosen saya suatu kali pernah cerita, ketika mendapatkan kuliah di
India, ia diajarkan dengan fasilitas yang minim. Mereka mengunakan kapur. Saya
percaya dengan dosen itu, karena saya pernah menonton film “3 idiots”. Mereka
juga mengunakan kapur.
Tapi jangan
tanyakan seberapa cerdasnya orang India. Saya tidak perlu jelaskan panjang
lebar, karena sudah ada motor gede “made in India”. Sampai hari ini India punya
satelit “made in India” yang setara
dengan Amerika dan Perancis. Mereka menunjukan bahwa menjadikan manusia yang
unggul tidak harus mahal dan fasilitas yang mewah.
Saya juga
tidak habis pikir dengan logika pendidikan hari ini. Saya melihat penentuan
biaya kuliah laiknya pelelangan. Hukum tawar menawar lebih berlaku di rapat ini
daripada pertimbangan rasional kemampuan materi orang tua mahasiswa. Perdebatan
seputar Jurusan yang sepi peminat seharusnya lebih murah. Jurusan primadona
layak untuk lebih mahal. Ini lebih mirip rapat perusahaan daripada rapat
lembaga pendidikan.
Mungkin ini
tidak bisa diambil mentah – mentah. Tapi realitasnya daya intelektual kita akan
terbatas jika perdebatan akademis masih berkutat pada fasilitas pendidikan.
Saya juga tidak menafikan bahwa fasilitas juga pendukung. Tapi Kalau kita bisa
memakai kapur, mengapa harus memakai spidol. Kalau sepakat pakai spidol,
berarti masalahnya bukan pada spidol, tapi akutanbiltas dari harga spidol.
Rasanya,
teman saya benar bahwa pendidikan kita mengalami kemunduran. Mungkin Plato juga
menyesal ide Academus, cikal bakal
universitas, untuk mencetak/mendidik seorang yang intelektual, (Plato lebih
setuju mengunakan istilah diskusi, dari pada mendidik). Tapi malahan menjadi
proyek fasilitas bagi petinggi Academus
sekarang.
Saya merasa kurang
adil jika mahasiswa ajari untuk kritis, tapi tidak boleh mengkritisi gurunya
sendiri yang tidak terbuka dalam
menentukan fasilitas pendidikan untuk muridnya.
Saya berada
dalam satu kesimpulan di dalam rapat itu. Bahkan seorang petinggi lembaga
pendidikan pun tidak peduli dengan keilmiahan dalam menentukan biaya. Rasanya, mereka tidak peduli ada anak orang
lain yang tidak bisa kuliah karena biaya kuliah yang kian mahal. Lalu, siapa lagi
yang masih peduli ?
0 komentar: