Memanusiakan Jakarta
Kota akan melindas siapapun yang ada di depannya. Ungkapan Ibu Kota lebih kejam dari ibu tiri sudah biasa kita dengar. Bahkan juga sering kita rasakan. Sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta dengan segala isinya akan berusaha menjadi kota angkuh diantara kota lain di Indonesia. Buktinya, diantara APBD yang berlimpah, masih banyak penduduk jakarta yang tinggal di rumah – rumah kardus dan kolong jembatan tanpa penghidupan yang layak.
Jakarta sendiri telah penuh oleh orang luar Jakarta yang melihat kemilau enaknya mengadu nasib di kota besar. Pertanyaannya, apa yang didambakan warga Jakarta (warga asli maupun pendatang) ketika tinggal di ibu kota. Rumah mewah ? Gaji Tinggi ? persamaan identitas dan SARA ? saya pikir salah jika calon gubernur menawarkan itu, karena masyarakat Jakarta lebih rasional (Tempo.co)
Jakarta sendiri telah penuh oleh orang luar Jakarta yang melihat kemilau enaknya mengadu nasib di kota besar. Pertanyaannya, apa yang didambakan warga Jakarta (warga asli maupun pendatang) ketika tinggal di ibu kota. Rumah mewah ? Gaji Tinggi ? persamaan identitas dan SARA ? saya pikir salah jika calon gubernur menawarkan itu, karena masyarakat Jakarta lebih rasional (Tempo.co)
Ibu Kota selalu menjadi tujuan utama warga negara dimana pun berada. Belum menjelajahi Indonesia jika belum ke Ibu kota. Bagi pencari kerja, Jakarta ibarat gula yang disemuti, karena apapun bisa jadi uang. Kondisi ini membuat Jakarta semakin angkuh. Ada lelucan khas betawi, “senggol, bacok !” ini ungkapan yang menandakan bahwa Jakarta bukan kota yang ramah.
Kota yang aman dan nyaman adalah kota yang memiliki rasa empati. Empati adalah kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain dari sudut pandang orang lain. Dengan kata lain empati adalah kemampuan mengambil alih posisi orang lain dalam satu konteks tertentu. Inilah yang dibutuhkan warga jakarta dalam menemukan angkuhnya Jakarta. Diantara kemacetan Jalanan Ibu kota, kita sudah mulai kehilangan rasa empati. Saling menyalib dan menyerobot tanpa mematuhi peraturan. Lihat Jakarta saat jam – jam sibuk, disanalah keadaan Jakarta sebenarnya tanpa rasa empati. Kemacetan merupakan salah satu isu krusial yang menjadi persoalan laten kandidat DKI1 siapapun yang terpilih nanti, seperti yang dikutip politicawave
Kota harus menjadi tempat interaksi antar warga. Maka diperlukan ruangan besar agar interaksi terjalin seperti yang dilakukan oleh Ali sadikin, Membangun Taman mini dan Ancol. Jangan hanya membangun mal – mal yang membuat warga semakin konsumtif dan tidak kritis menghapi persoalan sosial.
Ali sadikin berusaha memanusiakan manusia Jakarta. Ia tidak memembangun Jakarta sebagai sebuah kota angkuh. Ia sadar jakarta harus bernurani, punya kepekaan rasa keadilan, Ia juga membangun Taman Ismail Marzuki dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Jakarta harus menyadari bahwa warganya terdiri dari multikultur, namun bukan berarti menjadi kota yang primordialisme, tidak bisa beristilah “loe,loe – Gue,-gue”, untuk membangun kota yang penuh kompleksitas seperti ini dibutuhkan rasa saling peduli satu sama lain.
![]() |
Ali Sadikin mampu memanusiakan Jakarta |
Wajar jika dari hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia pada 15-22 Mei 2012 yang diikuti 440 responden di Jakarta merindukan Ali sadikin. Kecenderungan itu disampaikan saat pemaparan LSI "Publik Jakarta Rindukan Figur Ali Sadikin” di mata masyarakat, Ali Sadikin adalah figur yang berani mengawal Jakarta menjadi kota modern. "Mereka mendambakan Jakarta berkembang menjadi kota global dengan aneka budaya dunia yang beragam dapat hidup berdampingan,” seperti yang dikutip TEMPO.CO
Warga Jakarta lebih butuh dimanusiakan sebagai manusia, Biarlah hati nurani warga DKI Jakarta yang memilih siapa pasangan yang pantas memanusiakan Jakarta dalam beberapa tahun ke depan (politicawave.com)
![]() |
manusia tanpa cita-cita adalah mati; Cita-cita tanpa kerja adalah mimpi; Mimpi yang menjadi kenyataan adalah kebahagiaan -Ali Sadikin- |
0 komentar: