#10
Kemana pun kita pergi, raga dan
rasa tidak pernah kabur. Serasa dalam asa, seperti pintu yang terbuka lebar
untuk yang mau pulang. Kita pernah bercerita, rumah adalah tempat yang paling
tenang. Aku merasa terasing dalam di ruang lain. Aku mengintip lubang kunci
dari dalam rumah. Betapa memuakannya sesuatu di luar sana. Tapi rumah dan
segala isinya yang akan membentuk kita seperti ini bukan ? tentu dengan segala
kekurangannya.
Kamu pernah bilang, kamar adalah
otoritas terbaik yang pernah dimiliki. Kamu pernah bilang tidak ada tempat
terbaik di dunia selain disana, walau kamu tidak bisa pernah bisa tidur
sendiri. Disana juga pernah berdebat soal malam yang terlalu larut tidak baik
untuk tubuh yang ringkih. Tapi kita selalu larut dalam perbincangan ngalor ngidul. Kelarutan
yang dibuat sendiri.
Ya, kita tidak pernah konsisten
dengan apapun. Begitu juga soal malam dan pagi. entah apakah memang tidak sadar malam dan
pagi telah berbeda. Jika kita mulai pembicaraan kita lupa yang mana malam dan yang
mana pagi.
Aku sering kali berfilsafat, tentang
Tuhan (atau dengan huruf kecil), aku pikir dunia perlu Tuhan/tuhan dalam bentuk
apa pun. Ada ruang yang perlu dibuktikan
dalam skeptisnya otak kita. Ada ruang kosong. Kita harus adil. Kalau manusia
boleh kritis dengan penciptaan. Kita juga perlu memberi ruang pada pembuktian.
Kalau Pencipta memang ada, Ia akan memberikan bukti. Aku sedang tidak menalar
Tuhan/tuhan, tetapi memberikan keadilan bagi semuanya. Tapi kamu lebih suka
dengan semesta, baiklah aku mengerti. Pola dari alam memang menarik, tidak bisa ditebak.
Asalkan bukan arogansi. Masih ada celah. Arogansi hanya milik penguasa yang ingin berkuasa, bukan? bagi mereka rasionalisasi selalu kalah dengan arogansi. Toh, kita tidak pernah saling menguasai. Kamu ingat dengan perbincangan pikiran picik dari politik. Kapan kita bisa berbincang lagi?
Asalkan bukan arogansi. Masih ada celah. Arogansi hanya milik penguasa yang ingin berkuasa, bukan? bagi mereka rasionalisasi selalu kalah dengan arogansi. Toh, kita tidak pernah saling menguasai. Kamu ingat dengan perbincangan pikiran picik dari politik. Kapan kita bisa berbincang lagi?
Mungkin kamu muak dengan ini, aku
selalu takut kamu muak. Aku selalu tidak suka dengan rautmu yang muak, atau
sinisnya sorotmu. Aku tidak terbiasa, mungkin aku dimanja dengan citra baik
lawan bicara sejak kecil. Aku dilarang bicara dengan muka muak atau apa pun
agar tidak dibalas dengan respon negatif. Sejak itulah, aku selalu merasa baik-baik saja dan menahan amarah. Kamu lebih baik rupanya, lebih suka jujur.
Mungkin aku harus terbiasa dengan luapan.
Malam juga terlalu larut dan
waktu terlalu sempit untuk dengarkan kita bicara. Operator selular juga
sepertinya sering kali berhasil memutus jaringan. Tapi bukankah ada segala cara
untuk saling memberitahu. Mungkin sudah membosankan ya. Atau kita terlalu takut
dan gengsi. Takut untuk memulai. Gengsi kalau tidak digubris.
Aku punya kajian menarik.
Bagaimana jika kita mengkaji ulang dengan segala yang berlalu. Aku terlalu kaku
dengan kata menunggu.
Entahlah. Aku tidak pernah sadar
dijadikan sebagai laki-laki. Terlalu merasio bagi seorang perempuan. Dan kamu
lebih dari sekedar perempuan biasa. Menurutku, kamu bukan seorang feminis. Kamu
dalam pergulatan atas dirimu bukan dengan perbedaan kelas, atau persamaan hak.
Dan aku juga bukan seorang marxis. Tidak terlalu suka dengan revolusi sehari.
Aku tidak punya ideologi apapun soal itu. Aku selalu menyerah dalam perasaan.
Mungkin aku yang terlalu berperasaan. Atau mungkin aku mengagungkan rekonsiliasi
dari pada soal konfrontasi.
Kembali kepada pulang. Kapan kita menyerah lalu balik arah?
Kembali kepada pulang. Kapan kita menyerah lalu balik arah?
0 komentar: