Mati,
Saya tidak punya tesis tentang
kematian. Demi apa pun, kematian adalah suatu hal yang sulit untuk
diperbincangkan. Saya juga pernah bertanya : kapan saya akan mati ? Apa yang
terjadi jika saya mati? bagaimana dunia setelah kematian ? pertanyaan ini
mengular panjang sampai sampai suatu hari saya temukan betapa indahnya dijemput
kematian.
Saya menghargai kematian setelah
pulang dari Bangkok. Disana saya berkumpul dengan beberapa orang yang divonis
medis, tidak bisa hidup lebih lama, yang menjadi penyebabnya adalah virus yang
mematikan yang menggerogoti sistem imun tubuhnya. Bagi seorang ODHA, kematian
adalah keniscayaan.
Setelah vonis medis bukan lagi
mantra sakti, lebih dari pada itu adalah ketakutan atas kematian. Mudah saja
bagi mereka tinggal berhitung beberapa tahun ke depan. Ia tidak akan lagi
memiliki bumi.
ODHA memiliki jaringan
internasional di segala penjuru dunia. Mereka minoritas karena stigma tanda palang
yang artinya positif. Ada jaringan asia pasifik, ada jaringan global, yang
hampir pasti ada jaringan nasional di masing – masing negara. Mereka bisa
menembus batas negara dengan mudah. Jika mereka pintar mengunakan jaringan
internasional, tentu saja dengan balutan proyek dari lembaga donor.
Saya tidak mau cerita tentang proyek
dan otak – otak kotor para pencari uang proyek.
Saya sedang melakukan refleksi jika saya seorang yang divonis dokter tidak lama
lagi hidup. Ya, paling 10 tahun atau 15 tahun lagi.
Saya mengambil contoh, ada seorang
wanita ODHA, dia pintar meloby untuk menikmati batas negara. Baginya, untuk apa
lagi hidup dengan bersedih atau menyendiri. Ia bisa pergi menjelajahi belahan
bumi, menikmati keliling dunia dengan gratis dari lembaga donor. Ia pintar
mengambil hati. Persetan dengan materi. Ia menikmati hari. Dia tidak lagi
peduli. Tidak segan mencuri. Tidak lagi segan untuk seenaknya pergi. Entah
bagaimana menggambarkan orang yang merasa hidupnya sebentar lagi. Dan ia
gunakan itu untuk kesenangan sendiri.
Saya mengambil contoh lagi, ada seorang pria ODHA. Ia pernah mengalami sakit hati, "Mengapa hidupku begini ?". Pertama kali ia rasakan
bahwa penyesalan adalah harga mati. Kemudian protes kepada kehidupan adalah
sarapan paginya sehari – hari. Umurnya tinggal sebentar lagi. Dan ia merasa
sendiri. “Persetan dengan proyek ke luar negeri”, katanya. Ia memilih untuk
mengajari orang seperti saya tentang virus setan yang telah mengegerogoti
tubuhnya menjadi kurus ceking. Ia menyesali perbuatannya, karena tingkah
lakunya yang dulu tidak pernah suci.
Saya tambahkan lagi. Si abang ini
berumur 40 tahunan. ia Bercerita tentang pacarnya yang HIV negatif kemudian ia
ingin menikahinya. Saya shock. Perempuan negatif mana yang mau dengan pria
positif? Tapi abang ini punya mimpi. Ia yakin bahwa ia bisa hidup saling
mencintai. Dan perempuan ini juga yakin, alasan utama si abang memohon untuk
menikahinya karena benar-benar mencintainya, bukan ingin menulari. Mereka sadar sedang saling mencintai. Entah bagaimana cerita
mereka selesai. Kita tidak saling mengabari.
Kematian adalah keniscayaan. Jika
saya boleh memilih. Saya ingin hidup dengan kematian yang pasti. Jika kematian
itu pasti, saya bisa merancang bagaimana saya harus hidup. Jika saya tahu
tanggal kapan saya mati, saya lebih mudah untuk menikmati hari. Semuanya telah
pasti. Dan saya bisa menyedikan waktu untuk menyiapkan sesuatu yang bisa ditinggalkan setelah saya mati.
0 komentar: