Mati,

Friday, December 06, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Saya tidak punya tesis tentang kematian. Demi apa pun, kematian adalah suatu hal yang sulit untuk diperbincangkan. Saya juga pernah bertanya : kapan saya akan mati ? Apa yang terjadi jika saya mati? bagaimana dunia setelah kematian ? pertanyaan ini mengular panjang sampai sampai suatu hari saya temukan betapa indahnya dijemput kematian.

Saya menghargai kematian setelah pulang dari Bangkok. Disana saya berkumpul dengan beberapa orang yang divonis medis, tidak bisa hidup lebih lama, yang menjadi penyebabnya adalah virus yang mematikan yang menggerogoti sistem imun tubuhnya. Bagi seorang ODHA, kematian adalah keniscayaan.

Setelah vonis medis bukan lagi mantra sakti, lebih dari pada itu adalah ketakutan atas kematian. Mudah saja bagi mereka tinggal berhitung beberapa tahun ke depan. Ia tidak akan lagi memiliki bumi.

ODHA memiliki jaringan internasional di segala penjuru dunia. Mereka minoritas karena stigma tanda palang yang artinya positif. Ada jaringan asia pasifik, ada jaringan global, yang hampir pasti ada jaringan nasional di masing – masing negara. Mereka bisa menembus batas negara dengan mudah. Jika mereka pintar mengunakan jaringan internasional, tentu saja dengan balutan proyek dari lembaga donor.

Saya tidak mau cerita tentang proyek dan otak – otak kotor para pencari uang  proyek. Saya sedang melakukan refleksi jika saya seorang yang divonis dokter tidak lama lagi hidup. Ya, paling 10 tahun atau 15 tahun lagi.

Saya mengambil contoh, ada seorang wanita ODHA, dia pintar meloby untuk menikmati batas negara. Baginya, untuk apa lagi hidup dengan bersedih atau menyendiri. Ia bisa pergi menjelajahi belahan bumi, menikmati keliling dunia dengan gratis dari lembaga donor. Ia pintar mengambil hati. Persetan dengan materi. Ia menikmati hari. Dia tidak lagi peduli. Tidak segan mencuri. Tidak lagi segan untuk seenaknya pergi. Entah bagaimana menggambarkan orang yang merasa hidupnya sebentar lagi. Dan ia gunakan itu untuk kesenangan sendiri.

Saya mengambil contoh lagi, ada seorang pria ODHA. Ia pernah mengalami sakit hati, "Mengapa hidupku begini ?". Pertama kali ia rasakan bahwa penyesalan adalah harga mati. Kemudian protes kepada kehidupan adalah sarapan paginya sehari – hari. Umurnya tinggal sebentar lagi. Dan ia merasa sendiri. “Persetan dengan proyek ke luar negeri”, katanya. Ia memilih untuk mengajari orang seperti saya tentang virus setan yang telah mengegerogoti tubuhnya menjadi kurus ceking. Ia menyesali perbuatannya, karena tingkah lakunya yang  dulu tidak pernah suci.

Saya tambahkan lagi. Si abang ini berumur 40 tahunan. ia Bercerita tentang pacarnya yang HIV negatif kemudian ia ingin menikahinya. Saya shock. Perempuan negatif mana yang mau dengan pria positif? Tapi abang ini punya mimpi. Ia yakin bahwa ia bisa hidup saling mencintai. Dan perempuan ini juga yakin, alasan utama si abang memohon untuk menikahinya karena benar-benar mencintainya, bukan ingin menulari. Mereka sadar sedang saling mencintai.  Entah bagaimana cerita mereka selesai. Kita tidak saling mengabari.

Kematian adalah keniscayaan. Jika saya boleh memilih. Saya ingin hidup dengan kematian yang pasti. Jika kematian itu pasti, saya bisa merancang bagaimana saya harus hidup. Jika saya tahu tanggal kapan saya mati, saya lebih mudah untuk menikmati hari. Semuanya telah pasti. Dan saya bisa menyedikan waktu untuk menyiapkan sesuatu yang bisa ditinggalkan setelah saya mati.





You Might Also Like

0 komentar: