Tentang Blog Ini,
Menulis adalah semacam terapi
saat diam tidak lagi memulihkan. Maka “alienasi dari trasendensi” adalah
yang tepat. Alienasi dan trandensi adalah bagian dari manusia itu sendiri.
Setiap bangun pagi, atau malam sebelum tidur, saya selalu punya cara untuk
mencoba memahami segalanya, entah kemudian bertanya kemudian lupa atau terus
bertanya kemudian menjawab sendiri. Pernah juga merasa terasing dalam hiruk
pikuk, atau juga merasa ramai sesak. Entah dengan buku-buku, atau orang disekeliling.
Manusia akan mengalami alienasi.
Kata Marx, manusia akan terdesak karena dituntut karena paksaan ekonomi,
kemudian hanyut teralienasi. Merasa terasing. Dalam tekanan manusia hanya bisa
mengadu kepada hal trasendensi yang menjadi candu. Karena agama hanya
menawarkan pil manis, namun tidak realistis. Katanya, manusia dibodohi oleh itu.
Saya bukan penganut marx, juga tidak pernah membaca sampai selesai seluruh
karyanya.
Saya membuat ini, tidak juga
bermaksud melemah dengan rintihan pilu. BUkan juga menyebarkan agama yang memuakan itu. Biarkan ruang ini menjadi ruang
refleksi. Bukan pelarian dari kemunafikan atau jadi tempat mengadu kepada hal
transenden. Ini juga bisa ruang gugatan terhadap berbagai hal. Hal
yang tidak terpahamkan.
Kemudian tulisan ini menyaru kuat
dalam dominasi warna putih, yang menurut saya, putih adalah bentuk apa adanya.
Tanpa tendesius apa pun.
Tentu ruang ini bukan kitab suci
yang tidak boleh digugat. Atau akan dibela sampai mati. Bisa ditafsirkan
semaunya pembaca. Ada ruang kritik di kolom komentar. Ruangan ini sifatnya
permisif, karena bisa saja karena keteledoran asal comot metodologi berpikir,
yang malah mengaburkan pandangan. Atau kabur dalam sok-sokan berfilsafat.
Kembali ke alienasi dan
trandensi. Pertanyaan tidak selalu menemukan jawaban. Dalam puisi Brahmoedya,
di zaman aksial. Pencarian atas jawaban sudah dimulai dari jaman mula-mula saat
agama belum lahir.
“siapakah
yang tahu dan siapakah yang bisa memastikan, kapan dia dilahirkan dan kapan
datangnya ciptaan ini?
Dewa-dewa
lebih dahulu daripada penciptaan ini. Siapa yang tahu kapan dia pertama kali
mewujud?
Dia, asal
usul pertama ciptaan ini, entah dia yang membentuk atau tidak,
Mata siapa
yang mengawasi dunia ini dari langit tertinggi, dialah yang paling
mengetahuinya – atau barangkali dia tidak tahu”
Seorang yang tidak bijak akan terus bertanya, laiknya Socrates yang hidupnya bertanya. Menyadari dirinya tidak bijak karena ia tahu ia tidak bijak. "I know one thing : I know nothing". Mungkin pertanyaan tidak akan terjawab. Namun proses itu yang akan menjadi inti. Justru
yang tidak terpahamkan akan selalu menarik. Seperti proses mencari kebenaran, perdebatan itu terus menerus.
Menggumuli adalah kesenangan. Terus bertanya dalam keterasingan
adalah kebiasaan.
Kemudian, proses berpikir akan
seperti ombak, gulungan yang baru akan meniduri yang lama. Justru ini akan
mengasyikan. Ini adalah rekaman dari segala proses itu, yang suatu hari mungkin
hanya akan menjadi sampah kenangan.
Demi segala kerendahan manusia
yang selalu ingin tahu, saya perlu ruangan persis saat duduk di atas kloset, terus berpikir dan berpikir,
bertanya dan terus bertanya, saya ingin punya rekaman atas pertanyaan itu.
0 komentar: