Generasi Millenial dan Perubahan*
*tulisan ini pernah diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan dalam rangka 70 Tahun Indonesia Merdeka
Tujuh
puluh tahun bukanlah usia yang dibilang muda. Jika ini adalah manusia, tentu
ini sudah menjadi manusia yang renta. Ia hanya manusia uzur yang menunggu mati.
Manusia yang tidak lagi bergairah bicara tentang perubahan. Padahal perubahan dan
kemerdekaan merupakan sebuah garis lurus dari peradaban.
Pemuda
menjadi bagian yang penting dalam mempertahankan kemerdekaan sejak dulu,
sekarang, atau nanti. Kita perlu menyoroti kata – kata Soekarno yang patut
direnungi, “berikan aku seribu orang tua
niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya, beri aku sepuluh pemuda, niscaya
kuguncangkan dunia,”
Setiap
peradaban memiliki jamannya sendiri. Beberapa tahun belakangan dan tahun ke
depan akan menjadi milik generasi millenial. Terminologi ini adalah generasi
yang dimiliki oleh orang yang lahir pada tahun 1980 – 2000-an, yang lahir dari gempuran
era digitalisasi. Generasi millenial
muncul untuk menjadi generasi yang paling canggih, yang lekat dengan teknologi
seperti Ipod, Mp3, kamera, ponsel. Generasi ini disebut sebagai anak – anak remote control karena mereka menghadapi
perubahan terus menerus
Ironi
tentang generasi milenial, Majalah Times edisi Mei 2015 membahasnya dengan
judul cover ‘the me me me generation,
milenial are lazy, entitled narcissists, who still live with their parents’,
peradaban ini adalah milik generasi berkarakter narsistik, apatis, dan
cenderung individualis. Hal ini didasari karena kedekatan dengan internet dan
media sosial yang bisa diakses sembari bersantai di kamar dengan gadget di genggaman
tangan. Teknologi adalah mainan baru yang membuat asyik dengan dunianya sendiri,
menjadi generasi yang nyaman dalam kesendiriannya, bahkan apatis.
Jika
kita pengguna internet dan media sosial, mungkin kita menjumpainya di lini
massa dengan foto narsis dan nyinyiran khas
generasi ini.
Di
samping keadaan itu, tahun 2020 kita akan menyambut bonus demografi, artinya
generasi milenial akan berada di usia yang produktif, atau lebih jelasnya penduduk dengan usia
produktif menjadi sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia
lanjut belum banyak. Ini tantangan terbesar dalam menyambut indonesia ke depan.
Kata “perubahan” masih melekat dalam diri pemuda
sampai sekarang. Pemuda adalah masa depan bangsa, begitulah kira – kira yang
selalu didengungkan oleh para pemimpin. Namun
jika melihat realita pemuda, khususnya yang lahir ketika digitalisasi
menggempur peradaban sekarang ini, tentu kita pantas bertanya dengan jujur :
masihkah relevan mengandalkan pemuda di era digitalisasi jaman sekarang ?
Jika berharap perubahan dapat berawal dari media
sosial, tentu kita perlu melihat contoh dari negeri yang jauh, pada awal tahun
2011, Khaled Said, seorang pemuda mesir, meninggal tidak wajar. Ia menjadi
korban penyiksaan di sebuah warnet di Alexandria oleh polisi. Mulai dari
kejadian tersebut, kemudian muncul akun Facebook sebagai tempat berkumpul para
pemuda untuk melakukan diskusi untuk mengkristisi pemerintah Khusni Mubarok
saat itu sembari mengumpulkan ide untuk melakukan perubahan bagi negerinya,
kemudian di tahun yang sama, beberapa bulan berikutnya, muncul gerakan sosial
menduduki lapangan Al-Tahrir, dan kita tahu akhir dari cerita tersebut.
Setidaknya, ada gerakan perubahan disana.
Di
Tiongkok daratan, tepatnya Hongkong, kurang lebih sama, Joshua Wong, Seorang
pelajar yang memimpin ribuan pengunjuk rasa untuk turun ke jalan memprotes
China yang tidak memberikan kebebasan Hongkong untuk menentukan nasibnya
sendiri, hanya melalui media sosial twitter, mereka yang setuju dengan aksinya
memposting foto – foto dan melakukan protes, demi sebuah perubahan.
Mesir
dan Hongkong adalah contoh dari negara yang masyarakatnya mampu menggunakan
sumber daya manusia, teknologi, dan media sosial yang terhubung satu sama lain,
demi memperbaiki bangsa.
Di
Indonesia sudah pernah terbukti menjadikan internet sebagai gerakan baru untuk
menjadikan Indonesia untuk melawan korupsi. Bermodalkan genggaman tangan,
dimulai gerakan satu juta facebook untuk mendukung pemimpin KPK. Tapi melawan
korupsi tidak dapat dilakukan satu hari. Akhir- akhir ini, ada indikasi
kriminalisasi KPK kembali, namun media sosial tidak terjadi lagi untuk
anti-kriminalisasi KPK yang sekarang ini, artinya belum mampu menjadi gerakan
perubahan besar yang permanen dan konsisten, hanya berupa gerakan spontanitas,
latah, dan seakan ikut-ikutan.
Hal
ini menjadi ironi, mengingat Indonesia merupakan pengguna facebook terbesar
keempat dan pengguna twitter terbesar
kelima di dunia. Bahkan, twitter telah membuka kantor di Indonesia, ini
menunjukan bahwa Indonesia adalah santapan empuk para pebisnis media sosial.
Diantara pengguna itu, adakah salah satu dari kita untuk berniat memposting tulisan
yang menggugah kehausan terhadap perubahan bagi negeri, selain pamer foto
selfie?
Sebuah
penelitian mengungkapkan media sosial sangat dipengaruhi oleh kelas menengah,
merujuk penjelasan dari politicawave,
kelas menengah adalah mereka yang secara ekonomi
tidak bisa dibilang kaya, juga tidak miskin. Berada di kelas antara kelas
atas dan bawah secara kuantitatif ekonomi.
Kita sering menjumpainya di lini massa berkicau tentang apa
pun, responsif terhadap hal – hal yang tidak sesuai menurutnya. Namun lemah
dalam memberikan gerakan sosial. Spesialisasinya berkicau di lini massa ribuan
kali namun enggan bergerak untuk berubah. Kelebihannya mereka menguasai
ruang publik di teknologi dan media sosial. Mereka juga sangat mandiri dalam mencari
informasi dan data, namun apatis.
Merujuk
itu, saat ini kelas menengah dikuasai oleh usia produktif, kebanyakan dari
mereka adalah pemuda dan mahasiswa. Sejalan dengan generasi millenial, kelas
menengah menjadi gerakan sebatas kicauan di ruang – ruang maya dan internet. Kelak di tahun 2020 saat menyambut bonus
demografi, mereka menjadi pemegang posisi strategis di pemerintahan, swasta,
dan masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan bisa jadi koreng yang menjalar di
tubuh negara karena dilahirkan dari kondisi yang serba ada, enak dan nyaman, karena
tanpa melalui perjuangan mengangkat senjata.
Bukan
sesuatu yang kuat yang dapat bertahan hidup, namun yang mampu beradaptasi
dengan perubahan jaman. Kita tentu ingin Indonesia yang hidup seribu tahun
lagi, bukan sekedar hidup seratus tahun tapi hidup sebagai bangsa inlander, bangsa yang disebutkan oleh Soekarno
sebagai bangsa yang lemah dan terjajah. Mungkin saja, terjajah oleh internet.
Musuh
yang sesungguhnya pasca kemerdekaan adalah bangsa sendiri, bukan bangsa asing. Generasi
millenial harus menjadi subjek terhadap perubahan itu sendiri, bukan objek
perubahan. Karena jika tidak, tanpa disadari generasi ini hanya menjadi pengguna
yang terlena dengan arus digitalisasi. Suatu saat nanti, kita hanya menjadi
penonton selayaknya penonton sepak bola
berjersey yang sedang duduk
di tribun stadion, kemudian mengolok –
olok pemain di lapangan karena tidak becus bermain bola, akan tetapi
sesungguhnya kita adalah pemain tersebut.
Sebagai
negara demokratis terbesar ketiga di dunia, tujuh puluh tahun adalah usia relatif
masih muda menjalankan demokrasi.
Apalagi pasca keruntuhan orde baru, yang membuat semuanya serba terbuka, tidak
ada lagi pembatasan pendapat dan media. Hal tersebut menjadikan kita berlebihan
menanggapi kebebasan. Sebagai pemuda yang berada di peradaban internet dan
media sosial yang merajarela dan menghabisi waktu permainan, lalu pertanyaan
selanjutnya adalah apakah kebebasan dan kenyamanan yang telah diperoleh ini akan
berkontribusi untuk perubahan.
Paling
sedikit, kita bisa merasakan keresahan atas zona nyaman atas ini. Bila kita
berpikir bahwa ada memang tidak ada bagian yang ideal dari suatu negara. Tidak
ada sesuatu yang sempurna dalam tatanan negara bahwa ketidakadilan pasti ada,
ketidakberbihakan terhadap kaum miskin pasti ada. Semuanya benar.
Kita
perlu disadari, kemerdekaan memang bukan menjadi jalan akhir dari sebuah
perjuangan. Namun adalah jalan pembuka bagi setiap orang dalam tatanan
masyarakat untuk bisa menentukan nasibnya sendiri, tanpa ketergantungan bangsa
lain. Dengan kata lain, kita adalah bagian dari sebuah perlawanan atas kenyamanan
teknologi, internet dan media sosial. Karena tanpa disadari atau tidak,
peradaban ini membuat generasi ini menjadi sangat angkuh terhadap perubahan.
Di
akhir tulisan ini, saya hanya ingin menggugat kenyamanan generasi millenial,
generasi yang dilahirkan di tempat tidur empuk, yaitu teknologi. Generasi yang
ditemani oleh gadget ketika bangun pagi sampai tidur kembali. Indonesia
memanggil kita dengan nama ‘perubahan’ lalu pantaskah kita berdiam diri asyik
dengan gadget. Usia kemerdekaan yang ketujuhpuluh tahun tidak akan berarti apa
– apa jika kita merayakan dengan rutinitas, dengan berdiam diri sembari
menikmati gadget, dan memposting “Dirgahayu
Indonesia ke 70 tahun”
Paling sebel kalo generasi y / milenial di cap buruk di mata masyarakat..
ReplyDeletepasti langsung sensi gw hahahahaha..
sekalian tanya donk temans2, kira investasi untuk milenial ini cocok ga ya buat kita2 kaum milenial? (sorry link aktif, bukan endorse atau gimana, cuma nanya pendapatnya rekomen apa ga)
jenis investasi untuk generasi milenial