KTP
KALI ini saya berada di balai desa. Sengaja, berada disana untuk melihat aktivitas rutin. Balai desa itu ibarat gedung putih kalau lingkup lebih luas. Semua aktivitas rutin berawal dari sini. Saya duduk, sesekali melihat, sekali bertanya, sesekali nyengir.
ADA saja yang datang untuk berbagai keperluan. Yang paling sering orang yang mau bikin KTP. Saya ingat beberapa kali saya harus bolak balik bikin KTP, karena seringkali lenyap. Dan saya sekarang duduk manis memperhatikan orang yang bikin KTP.
DATANGLAH seorang bapak. Bapak itu tampak setengah baya. Dengan langkah gontai, tapi pasti. Bapak itu mulai masuk ke ruang balai. Pas di depan saya, ia duduk.
SAYA yang sudah beberapa menit duduk, asik melihatnya. Di tengah keasikan, saya mendengar nada tinggi bapak, sesekali dengan kata – kata ngeyel. Tampaknya si bapak ingin KTP-nya ditukar dengan KTP elektronik, alias E-KTP.
JAMAN sekarang E-KTP memang jadi tren. Saya ingat, pernah membaca hal itu, di tahun ini paling tidak akan menjadi transisi KTP konvesional ke E-KTP. Dan bapak itu rasanya, tidak ingin ketinggalan jaman dengan KTP konvesional.
ENTAH bapak ini, sengaja karena sudah kenal, jadi tidak membawa persyaratan RT/RW. Sekedar info saja, kalau mau minta surat apa pun ke balai desa, semua harus melewati birokrasi mulai dari RT terus ke RW, kemudian ke balai desa. Namun, bapak ini enggan. Dan perdebatan pun terjadi.
BAPAK ini merasa ribetnya setengah mati. Hanya untuk sebuah pengakuaan dari kartu kecil ini perlu persyaratan seabrek. Dan bapak itu ngeyel bahwa itu tidak penting. Serunya, bapak itu tampaknya sangat antusias dengan E-KTP.
SAYA masuk duduk diam mendengarkan. Tapi, bibir saya sudah tidak tahan untuk ikut ngomong. Setidaknya untuk membantu si mbak pembuat KTP yang kelihatannya sudah terpojok dengan kata – kata si bapak yang ngeyel itu.
AKHIRNYA, saya ikutan ngomong. Tanpa skenario, saya menjelaskan bahwa E-KTP tidak lah begitu penting, lagi pula KTP bapak belum kadaluarsa. Untuk apa bikin baru. Eh,di luar skenario, saya malah dimarahi oleh si bapak.
PENUTUPNYA, si bapak pergi tanpa hasil. Karena memang tidak memiliki prsyaratan lengkap. Dan E-KTP lum masuk ke kecamatan ini. “Baru 6 bulan kedepan,” kata si mbak pembuat KTP.
SAYA masih duduk diam, sesekali melihat, sekali bertanya, sesekali nyengir. Saya nyengir, karena KTP saya sering bolak balik bikin KTP. saya sudah tahu bagaimana ribetnya bikin KTP. Memang hanya untuk sebuah pengenal itu butuh birokrasi yang panjang. Tanya itu, tanya ini, butuh itu, butuh ini. ke pak RT lah, ke pak RW yang orangnya belum tentu ada.
SAYA masih nyengir. Mungkin bapak itu adalah saya yang sering bolak balik ke balai desa, karena lagi –lagi bikin KTP. lalu, saya ngeyel karena malas ngurus ke RT/RW, minta dibikinin langsung oleh balai desa. Sudah beberapa kali saya ditolak, tapi saya tetap ngeyelllll...............
0 komentar: