Tanya,

Wednesday, October 02, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Hari yang begitu padat dengan segala yang itu – itu saja lama kelamaan akan membunuh. Seperti kura – kura yang berada di dalam ember di letakan depan pintu kamar. Saya mungkin sejenis hamster yang dipelihara untuk dinikmati dalam kandang berdinding kaca. Saya binatang alam bebas yang tidak punya tempat tinggal yang pantas. Tentu saja, saya berdinding segala persyaratan dan pertanyaan.

Tumpukan berkas – berkas tugas akhir telah membuat ketidaknyamanan. Ia sejenis mantra ampuh untuk terus bertanya. Saya hidup tanpa alasan apapun selain menyelesaikan persyaratan yang bejibun, kemudian selalu ada pertanyaan dalam keresahan :  setelah semuanya selesai lalu apa ?

Bisa jadi saya sedang ketakutan dengan segala kemungkinan yang terjadi. Atau saya enggan keluar dengan rutinitas yang terlanjur menyaru. Entahlah tapi pertanyaan itu selalu hinggap disela – sela mengerjakan rutinitas.

Hidup untuk apa? Pertanyaan juga melintas dalam pikiran. Pagi hari menikmati segelas susu hangat ditemani roti tawar. Kemudian kenikmatan pagi berhasil dijelaskan dengan roti yang dicelupkan hingga susu meresap ke dalam pori. Ehhmm.. begitu nikmat. Tapi udara pagi yang menusuk keluar dari sela-sela lubang tembok seakan membawa pertanyaan, apakah hidup hanya sekedar menikmati pagi bersama susu dan roti ?

Setelah semuanya selesai, saya memakai toga simbol perguruan tinggi ini. Berada dalam auditorium nan megah mengikuti prosesi pelepasan simbol kemunafikan. Lima tahun kuliah dibingkai dengan guratan senyum bersama keluarga dalam sebuah foto ukuran 10 R, kemudian setelah itu apa ?

Banyak yang memberikan jawaban dengan muka datar tanpa menunggu saya selesai menjelaskan keresahan, ia dengan muka begitu enteng, menjelaskan mengalir saja tanpa beban apapun, tanpa berkeinginan apa pun, tapi tetap saja otak tidak mau mengalah untuk menerima alasan.

Saya mengalah dengan melihat contoh, misalnya kakak saya yang sebentar lagi menikah. Ia juga bisa mengambarkan kehidupan pasca memakai toga. Ia kerja selama 4 tahun mengumpulkan duit untuk saya dan keluarga, kemudian mengumpulkan duit untuk menikah dengan seorang wanita yang  dicintainya, kemudian membeli rumah untuk ditinggali  berdua dan kelak dengan anak – anaknya.

Saya tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah pilihan yang baik. Di sudut yang lain, ada wanita yang ditelantarkan oleh suaminya. Mereka tidak mendapatkan apa pun selain trauma dan frustasi dengan segala hujatan terhadap komitmen pernikahan. Kemudian setiap malam memilih tubuh diberikan kepada laki-laki demi dapat hidup. Buktinya, ada juga wanita yang hidupnya tidak pernah tenang setiap malam, sembari menunggu tamu, ia juga resah dengan hidup anaknya di desa.

Artinya, tidak selamanya juga begitu menarik. Apalagi yang percaya bahwa ada hidup ‘selibat’. Bisa jadi, tidak menikah adalah pilihan yang terbaik bagi manusia. Ia akan bisa mencari jalan dalam hidupnya sendiri, seperti orang suci di gereja katolik, melayani orang miskin, orang-orang  yang tidak pernah dipikirkan oleh sepasang manusia yang egois. Atau mungkin saja hidup seperti Bapuji, Mahatma Gandhi, yang tinggal di Ashram Sevagram, atau Budha Sidharta Gautama yang mendapatkan pencerah di Gunung Vindya, tampaknya hidupnya lebih menenangkan daripada harus mengurusi tetek bengek pribadinya. Lebih baik mengurusi orang lain yang membutuhkan bantuan.

Ada juga manusia yang mencari kehidupan setelah kematian, kemudian menjadi narsistik dengan mengagungkan ajaran – ajaran begitu egois, lupa dengan hubungan manusia lainnya. Ia bebas mengunakan atas nama Sang Kuasa, lalu menghujat manusia dengan segala kekurangannya demi mendapat tempat yang tidak pernah dijelaskan benar ada atau tidak. Mereka mencari kebahagiaan setelah kematian. Tapi harus mengorbankan kehidupan yang lebih nyata. Buat saya, itu sama saja bunuh diri dalam kehidupan nyata. 

Ada kontradiksi yang menyelinap dari syaraf kepala. 

Kemudian setelah persyaratan selesai, saya berhasil mengenapi harapan orang tua menjadi sarjana, kemudian lalu apa? bekerja dengan segala rutinitas yang pasti membosankan itu, mencari uang agar dapat hidup, kemudian mencari hiburan di sela – sela pekerjaan yang angkuh ? saya akan mati kebosanan.

Menuliskan ini tanpa alasan pun juga sebuah perjalanan yang ampuh untuk terus bertanya. Karena kehidupan juga tidak akan pernah selesai untuk manusia yang diam saja mengikuti arus, lalu memilih tidak bertanya apapun. Yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Paling tidak saya mensyukuri menjadi seorang manusia, yaitu tidak menghentikan jalannya otak yang dibuat sangat agung.

Ternyata waktu begitu cepat berlalu. Penunjuk waktu di pojok kiri bawah sudah berganti dua angka di depan. Ini sudah terlalu lama saya berkutat. Buat sebagian orang pasti ini adalah kebodohan. Sekali lagi, saya  bertanya dengan segala ketidaktahuannnya dan  tidak pernah mendapatkan jawabannya.


You Might Also Like

0 komentar: