Tanya,
Hari yang begitu padat dengan segala yang itu – itu saja
lama kelamaan akan membunuh. Seperti kura – kura yang berada di dalam ember di
letakan depan pintu kamar. Saya mungkin sejenis hamster yang dipelihara untuk
dinikmati dalam kandang berdinding kaca. Saya binatang alam bebas yang tidak punya tempat tinggal yang pantas. Tentu saja, saya berdinding segala persyaratan dan
pertanyaan.
Tumpukan berkas – berkas tugas akhir telah membuat
ketidaknyamanan. Ia sejenis mantra ampuh untuk terus bertanya. Saya hidup tanpa
alasan apapun selain menyelesaikan persyaratan yang bejibun, kemudian selalu ada
pertanyaan dalam keresahan : setelah
semuanya selesai lalu apa ?
Bisa jadi saya sedang ketakutan dengan segala kemungkinan
yang terjadi. Atau saya enggan keluar dengan rutinitas yang terlanjur menyaru.
Entahlah tapi pertanyaan itu selalu hinggap disela – sela mengerjakan
rutinitas.
Hidup untuk apa? Pertanyaan juga melintas dalam pikiran. Pagi
hari menikmati segelas susu hangat ditemani roti tawar. Kemudian kenikmatan
pagi berhasil dijelaskan dengan roti yang dicelupkan hingga susu meresap ke
dalam pori. Ehhmm.. begitu nikmat. Tapi udara pagi yang menusuk keluar dari
sela-sela lubang tembok seakan membawa pertanyaan, apakah hidup hanya sekedar
menikmati pagi bersama susu dan roti ?
Setelah semuanya selesai, saya memakai toga simbol perguruan
tinggi ini. Berada dalam auditorium nan megah mengikuti prosesi pelepasan simbol
kemunafikan. Lima tahun kuliah dibingkai dengan guratan senyum bersama keluarga
dalam sebuah foto ukuran 10 R, kemudian setelah itu apa ?
Banyak yang memberikan jawaban dengan muka datar tanpa menunggu saya selesai menjelaskan keresahan, ia dengan muka begitu enteng, menjelaskan mengalir
saja tanpa beban apapun, tanpa berkeinginan apa pun, tapi tetap saja otak tidak
mau mengalah untuk menerima alasan.
Saya mengalah dengan melihat contoh, misalnya kakak saya
yang sebentar lagi menikah. Ia juga bisa mengambarkan kehidupan pasca memakai
toga. Ia kerja selama 4 tahun mengumpulkan duit untuk saya dan keluarga,
kemudian mengumpulkan duit untuk menikah dengan seorang wanita yang dicintainya, kemudian membeli rumah untuk
ditinggali berdua dan kelak dengan anak
– anaknya.
Saya tidak bisa mengatakan bahwa
itu adalah pilihan yang baik. Di sudut yang lain, ada wanita yang ditelantarkan
oleh suaminya. Mereka tidak mendapatkan apa pun selain trauma dan frustasi
dengan segala hujatan terhadap komitmen pernikahan. Kemudian setiap malam
memilih tubuh diberikan kepada laki-laki demi dapat hidup. Buktinya, ada juga wanita
yang hidupnya tidak pernah tenang setiap malam, sembari menunggu tamu, ia juga
resah dengan hidup anaknya di desa.
Artinya, tidak selamanya juga
begitu menarik. Apalagi yang percaya bahwa ada hidup ‘selibat’. Bisa jadi, tidak
menikah adalah pilihan yang terbaik bagi manusia. Ia akan bisa mencari jalan
dalam hidupnya sendiri, seperti orang suci di gereja katolik, melayani orang
miskin, orang-orang yang tidak pernah
dipikirkan oleh sepasang manusia yang egois. Atau mungkin saja hidup seperti Bapuji,
Mahatma Gandhi, yang tinggal di Ashram Sevagram, atau Budha Sidharta Gautama
yang mendapatkan pencerah di Gunung Vindya, tampaknya hidupnya lebih
menenangkan daripada harus mengurusi tetek bengek pribadinya. Lebih baik
mengurusi orang lain yang membutuhkan bantuan.
Ada juga manusia yang mencari
kehidupan setelah kematian, kemudian menjadi narsistik dengan mengagungkan
ajaran – ajaran begitu egois, lupa dengan hubungan manusia lainnya. Ia bebas
mengunakan atas nama Sang Kuasa, lalu menghujat manusia dengan segala
kekurangannya demi mendapat tempat yang tidak pernah dijelaskan benar ada atau
tidak. Mereka mencari kebahagiaan setelah kematian. Tapi harus mengorbankan
kehidupan yang lebih nyata. Buat saya, itu sama saja bunuh diri dalam kehidupan
nyata.
Ada kontradiksi yang menyelinap
dari syaraf kepala.
Kemudian setelah persyaratan
selesai, saya berhasil mengenapi harapan orang tua menjadi sarjana, kemudian
lalu apa? bekerja dengan segala rutinitas yang pasti membosankan itu, mencari
uang agar dapat hidup, kemudian mencari hiburan di sela – sela pekerjaan yang
angkuh ? saya akan mati kebosanan.
Menuliskan ini tanpa alasan pun
juga sebuah perjalanan yang ampuh untuk terus bertanya. Karena kehidupan juga
tidak akan pernah selesai untuk manusia yang diam saja mengikuti arus, lalu memilih
tidak bertanya apapun. Yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Paling tidak saya
mensyukuri menjadi seorang manusia, yaitu tidak menghentikan jalannya otak yang
dibuat sangat agung.
Ternyata waktu begitu cepat
berlalu. Penunjuk waktu di pojok kiri bawah sudah berganti dua angka di depan.
Ini sudah terlalu lama saya berkutat. Buat sebagian orang pasti ini adalah kebodohan. Sekali lagi, saya bertanya dengan segala
ketidaktahuannnya dan tidak pernah
mendapatkan jawabannya.
0 komentar: