Baik,

Friday, January 10, 2014 Standy Christianto 0 Comments

Konteks lebih penting dari pada teks. Aku memaksa dingin untuk menggangu pikiran, agar malam yang telah larut ini menjadi saksi. Ada bagian dalam diri manusia yang tidak seluruhnya perlu diketahui manusia lain, yaitu cara berpikir dan mengular. Bagaimana manusia akan menjalani sisa hidup dengan baik, karena hidup tidak mungkin berbalik.

Seperti malam yang selalu larut dengan kesal, tidak akan habisnya jika diratapi. Ia berselimut iri. Segala sesuatu yang baik selalu kalah dengan jahat. Kelembutan mungkin kalah dengan pukulan. Keramahan mungkin akan kalah dengan hardikan. Dan segala yang menyakiti akan bisa membawa lari seseorang.

Kemudian pertanyaan mengular panjang, harus sebaik apa manusia agar ia bisa diterima. Sebaik kakek tua yang suka sekali memberi permen kepada cucunya. Atau malah menjadi algojo yang baik hati, terus menghukum agar semua orang tahu, ia bak penghukum agar ia mendapat hormat. Orang tunduk dan menjadi hamba.

Bukankah tidak ada yang mau menjadi budak atau hamba. Budak akan diberikan sebuah ketakutan. Logika hukuman akan menjadi jalan keluar. Tubuh si budak berada di tempat. Ia bergerak sesuai perintah. Berdiri dengan aturan. Langkahnya diarahkan. Hidupnya terkekang. Sesekali mendapat makanan. Tapi dalam tubuh yang terkekang, makanan adalah kenikmatan tiada tara. Dalam ketakutan yang berlebihan, niat baik berbentuk makanan akan menjadi patokan kebaikan. Algojo berubah menjadi orang "baik"

Aku usai bekerja menemani para perempuan malam yang malang. Kasihan mereka. Ditengah hujatan para pemuka, ia harus berjuang dari kebobrokan negeri ini. Di tengah hiruk pikuk para lelaki hidup belang mereka pertaruhkan kehormatan. Uang bak sorga. Pekerjaan mereka diagungkan oleh lelaki brengsek dan dihujat oleh lelaki itu juga. Oleh Lelaki yang brengsek itu juga ia dirayu, diperlakukan bak bidadari, tidak jarang juga diperistri.

Seperti madu di tengah hutan, para brengsek itu adalah orang baik bagi para pelacur. Padahal mereka juga telah mengkhianati keluarga di rumah. Ia baik bagi perempuan lain, juga bajingan bagi perempuan lainnya.

Akhirnya, manusia bisa menemukan yang “baik”. Tapi ia terjebak dalam memilih yang baik. Dalam hatinya ia yakin bahwa segala yang baik telah disediakan di depan mata. Dengan segala pengalamannya ia mampu menilai bahwa orang yang di depan matanya adalah yang terbaik. Inilah yang dimaksud kebaikan dan keagungan. Seperti lelaki brengsek, yang selalu bisa menempatkan diri agar terlihat baik.

Kemudian apa yang dicari di dunia ini. Jika orang brengsek pun mendapat tempat. Kebaikan yang terus menerus akan terlihat baik, jika diselimuti senyum. Bagaimana seorang suami yang pukuli istrinya setiap hari, kemudian ia juga main dengan pelacur, tapi istrinya keliatan baik-baik saja. Atau sebaliknya, bagaimana dengan suami yang baik hati, tidak pernah memukuli, tidak pernah diselingkuhi, tapi mendapat perlakuan yang buruk dari istrinya.

Kadang kebaikan kian tenggelam. Orang yang jahat selalu mendapat tempat. Ia bisa seenaknya mengikuti nafsu, hasrat untuk menyakiti. Sedangkan ada orang yang dilahirkan hanya bisa meratapi, ia terus menerus takut membalas menyakiti, memilih diam saja.

Mungkin ini alasan manusia berhak untuk berbuat jahat. Akhirnya, yang baik berubah menjadi jahat. Karena hidup tidak pernah adil. Mengapa kejahatan dibiarkan begitu saja. Dimanakah segala yang punya kuasa menempatkan jahat di tempat yang jahat, baik di tempat yang baik ? Mungkin alasan ini ada orang yang bertanya tentang keberadaan Tuhan yang adil. Hukum yang adil.

Di atas motor yang berjalan santai, aku mengingat – ingat kesimpulan : keadilan tidak pernah habis. Dunia ini tidak pernah adil. Keadilan yang dicari kian absurd. Kita akan kelelahan mencari keadilan. Konteks lebih penting dari teks.  Masih ada orang baik di dunia ini. Dan berusaha menjadi baik, demi sebuah ketenangan dalam dirinya, agar tidak dikejar rasa bersalah. Lupakan dulu sejenak tuntutan keadilan.

You Might Also Like

0 komentar: