Pucuk Gunung,
Ketika aku keluar dari rumah, aku
melihatmu berselimut kabut dengan malu – malu. Tiap kali aku mengintip dari
luar pagar, kau berselimut putih. Aku dibawah sini. Di tempat aku berpijak
dengan pagi yang berisik. Kau cantik, juga gagah berdiri angkuh. Aku memandangmu selalu dari jauh, tepat dari
depan rumah ke arah utara.
Kau membawaku dengan penasaran. Kau
sebentuk materi yang ingin sekali ditaklukan.
Sudah lama aku ingin menaklukanmu
demi keberanian dan penasaran. Katanya, keberanian datang dari menantang diri
sendiri. Menaklukkanmu adalah kebanggaan diri. Sekaligus pembuktian, jika suatu
saat aku tinggalkan kota ini, aku punya kenangan telah berada di pucuk yang
selalu aku lihat dari jauh, tepat dari depan rumah. Suatu saat aku rindukan
kota ini. Kaulah salah satu pengingat rindu itu.
Malam dengan hujan rintik. Tepat
setelah adzan maghrib berkumandang, aku berjalan sedikit cemas. Gelap membuatku takut. Pun aku tahu, tidak
semua gelap membuat orang kalap. Buktinya, justru dalam gelapnya malam,
indahnya bintang terlihat. Sayang, malam itu hujan lama-lama semakin keras,
jangankan bintang, binatang malam pun sembunyi karena raungan petir.
Kau terlalu sakti untuk
ditaklukan satu hari, atau mungkin aku yang terlahir terlalu ringkih. Kau makin
sakti dengan gemuruh hujan badai tropis di bulan Januari. Tentu kau tidak mau
disalahkan karena iklim hujan tropis bukan darimu, tapi kodrat pembagian bumi
kutub utara dan selatan.
Apakah kau yang ijinkan badai besar
yang menggoyang tenda ? Di suatu malam aku kedinginan dengan selimut tebal. Aku masih terjaga dengan
menahan kaki yang lecet.
Kau tidak menjawab. Kau diam
saja, bikin terlihat garang. Aku melihat tepat di ujung, kau galak dengan
gemuruh lava. Badanmu berdebu berkelindan asap vulkanik. Tepat saat matahari
terasa dekat, Hidungku sakit menahan dingin. Yang lain memakai sun block, aku tidak. Karena aku ingin
merasakan panas yang murni menusuk kulit, udara yang suci, dan letih yang
menusuk dada.
Aku menikmatimu saat tepat di
ubun-ubunmu. Aku menghirup napas dalam udara yang suci, menghelanya perlahan.
Aku melihat ke bawah tidak lagi mendongak. Aku tinggalkan beban – beban dan
belenggu-belenggu peradaban manusia di bawah disana. Aku tidak lagi mendengar
tangisan, ringkihan, kemunafikan, ketidakadilan, keserakahan, kesombongan, dari
manusia yang sok paling tahu dan sok paling benar.
Aku menikmatimu, semesta alam.
Mataku tidak lepas melihat birunya langit dengan kumpulan awan. Lengkukan
aliran hulu ke hilir seperti cacing
besar yang meliuk lucu. Indahnya bumi
dan langit siang itu membuat ku lega. Aku terlalu kecil untuk kuatir dengan apa
yang aku inginkan. Aku terlalu sombong
dengan keinginan yang berlebihan. Aku terlalu sempit berpikir hidup ini
tidak adil.
Siapa yang menciptakan kau
seindah ini ? siapa yang menaruhmu begitu
dekat ? siapa yang menjadikanmu begitu anggun ? siapa yang membentukmu seperti
itu?
0 komentar: