Pucuk Gunung,

Sunday, January 19, 2014 Standy Christianto 0 Comments


Ketika aku keluar dari rumah, aku melihatmu berselimut kabut dengan malu – malu. Tiap kali aku mengintip dari luar pagar, kau berselimut putih. Aku dibawah sini. Di tempat aku berpijak dengan pagi yang berisik. Kau cantik, juga gagah berdiri angkuh.  Aku memandangmu selalu dari jauh, tepat dari depan rumah ke arah utara.

Kau membawaku dengan penasaran. Kau sebentuk materi yang ingin sekali ditaklukan.

Sudah lama aku ingin menaklukanmu demi keberanian dan penasaran. Katanya, keberanian datang dari menantang diri sendiri. Menaklukkanmu adalah kebanggaan diri. Sekaligus pembuktian, jika suatu saat aku tinggalkan kota ini, aku punya kenangan telah berada di pucuk yang selalu aku lihat dari jauh, tepat dari depan rumah. Suatu saat aku rindukan kota ini. Kaulah salah satu pengingat rindu itu.

Malam dengan hujan rintik. Tepat setelah adzan maghrib berkumandang, aku berjalan sedikit cemas.  Gelap membuatku takut. Pun aku tahu, tidak semua gelap membuat orang kalap. Buktinya, justru dalam gelapnya malam, indahnya bintang terlihat. Sayang, malam itu hujan lama-lama semakin keras, jangankan bintang, binatang malam pun sembunyi karena raungan petir.

Kau terlalu sakti untuk ditaklukan satu hari, atau mungkin aku yang terlahir terlalu ringkih. Kau makin sakti dengan gemuruh hujan badai tropis di bulan Januari. Tentu kau tidak mau disalahkan karena iklim hujan tropis bukan darimu, tapi kodrat pembagian bumi kutub utara dan selatan.

Apakah kau yang ijinkan badai besar yang menggoyang tenda ? Di suatu malam aku kedinginan dengan selimut tebal. Aku masih terjaga dengan menahan kaki yang lecet.

Kau tidak menjawab. Kau diam saja, bikin terlihat garang. Aku melihat tepat di ujung, kau galak dengan gemuruh lava. Badanmu berdebu berkelindan asap vulkanik. Tepat saat matahari terasa dekat, Hidungku sakit menahan dingin. Yang lain memakai sun block, aku tidak. Karena aku ingin merasakan panas yang murni menusuk kulit, udara yang suci, dan letih yang menusuk dada.

Aku menikmatimu saat tepat di ubun-ubunmu. Aku menghirup napas dalam udara yang suci, menghelanya perlahan. Aku melihat ke bawah tidak lagi mendongak. Aku tinggalkan beban – beban dan belenggu-belenggu peradaban manusia di bawah disana. Aku tidak lagi mendengar tangisan, ringkihan, kemunafikan, ketidakadilan, keserakahan, kesombongan, dari manusia yang sok paling tahu dan sok paling benar.

Aku menikmatimu, semesta alam. Mataku tidak lepas melihat birunya langit dengan kumpulan awan. Lengkukan aliran hulu ke hilir seperti  cacing besar yang meliuk lucu. Indahnya  bumi dan langit siang itu membuat ku lega. Aku terlalu kecil untuk kuatir dengan apa yang aku inginkan. Aku terlalu sombong  dengan keinginan yang berlebihan. Aku terlalu sempit berpikir hidup ini tidak adil.

Siapa yang menciptakan kau seindah ini ?  siapa yang menaruhmu begitu dekat ? siapa yang menjadikanmu begitu anggun ? siapa yang membentukmu seperti itu?

Kau luar biasa, kau begitu indah...







You Might Also Like

0 komentar: