22.57
Dua puluh dua lewat lima puluh
tujuh, waktu menunjukan di samping kanan bawah sudut layar laptop. Di waktu ini
juga saya harus berterimakasih dengan segala yang mulai menunjukan titik
terang, bahwa benar garis adalah kumpulan dari titik-titik. Artinya tidak ada
kebetulan. Bahwa memang semuanya bersimpul.
Di pinggir kasur dan segelas teh,
aku kembali melihat bahwa bagian penting dari sebuah pilihan adalah
konsistensi. Tidak ada yang instan. Apalagi dalam sebuah perjalanan yang panjang. Keputusanlah yang membuat kita bergerak. Dan keputusan
atas kemerdekaan memilihlah, setiap manusia disebut manusia.
Begitu indahnya melihat Merbabu
dan Merapi saling beradu keanguhan saat pagi menjelang. Dari sini, aku pun
perlu melihat ada dunia yang begitu luas dan kompleks. Yang tidak bisa dinilai
dari layar peramban digital yang penuh sesak dengan ocehan miring, nyinyiran,
dan negatif tentang apapun. Semua orang di layar seolah berhak dan berlagak menjadi dewa
yang boleh mengomentari apa pun.
Alam yang sumpek, air yang keruh,
tanah yang diperebutkan, akan menjadi dunia yang membosankan dan menjemukan
bagi mereka yang sedang mencari jalan keluar dari pertanyaan-pertanyaan yang
belum ada jawabannya.
Di tengah bumi yang sumpek,
bagian yang hilang dalam peradaban ini adalah orang-orang yang memilih diam
dari kepenatan. Mereka adalah orang-orang yang memilih bergumul dengan dirinya,
keadaannya, pikirannnya, dan kemampuan dalam belajar untuk beradaptasi tentang
semuanya itu.
Malam semakin larut dengan
sunyinya, dan obrolan tidak jelas para politisi di televisi. Dunia yang sumpek
juga semakin tidak jelas dari suguhan acara televisi. Dimana acara yang
sungguh-sungguh menghibur ? jika semua bicara tentang ocehan tidak ada yang baik. Dimana sains untuk mengisi ilmu pengetahuan. Dimana olahraga untuk
kesehatan. Dimana acara yang sungguhan menghibur?
Segelas teh tawar rupanya tidak
bisa juga menetralkan racun di dalam kepala. Segelas teh tawar hanya mampu
menemani malam yang makin larut dengan pikiran yang melayang, dan imajinasi
kotor tentang kepenatan dan kejenuhan atas kemunafikan manusia.
Suatu saat nanti, ketika bumi
sudah menunjukan tanda-tanda kelemahannya, mungkin manusia akan kembali tenang.
Kembali ke baraknya masing-masing. Kemudian mulai mencari kesalahan dalam
dirinya. Apa yang salah. Apa yang benar.
Kemudian manusia mulai berpikir
berurutan dengan alur mundur. Bahwa segala yang terkait, akan selalu bersimpul.
Segala pilihan atas memilih adalah keagungan manusia. Memilih secara bebas
adalah salah satu ciri manusia, selain bernapas, tumbuh, makan, dan
berkembangbiak.
Titik tidak terjadi begitu saja
menjadi garis. Garis adalah kumpulan titik-titik. Suatu saat, aku harus
berterimakasih dengan Merbabu dan Merapi, segelas teh tawar, dan laptop. karena
dalam diamnya, mereka mau menunggu sampai mengantuk. Daripada ditemani oleh
mereka-mereka yang berisik menyebarkan energi negatif, yang membuat mimpi
buruk.
Magelang, 11 Februari
2015
0 komentar: