Takut,
Saya lama tidak berbenturan
dengan ketakutan yang sesungguhnya. Bukan berarti saya telah mati rasa, atau
memang tidak ada lagi yang ditakuti. Saya merasa ketakutan yang menyelinap
akhir –akhir ini adalah semu. Tapi sore ini setelah pulang kerja terakhir sebagai
pekerja, saya merasakan ketakutan. Ya, saya
takut.
Keputusan yang lama sekali
dibuat, akhirnya saya perlu bersikap. Saya merindukan dunia di luar sana yang
liar, yang tidak jelas dan yang membuat takut. Karena keadaan yang nyaman
membuat lemah, dan semakin lama membuat otot dan otak semakin tidak berdaya.
Seperti semut berjalan di atas besi yang ujungnya dipanaskan. Ia merasakan
kehangatan demi kehangatan, kelihatannya mengasyikan padahal mematikan.
Saya perlu ketakutan yang
sesungguhnya, agar kemanusiaan terlihat, sebagai manusia yang memiliki kemampuan beradaptasi dan bertahan
hidup. Yang mengerti bahwa setiap detik waktu adalah berharga. Saya tahu, suatu
saat saya akan mati kelaparan, atau mungkin kelelahan karena berjalan terlalu
lama. Bukankah itu lebih baik daripada
mati di atas besi tua yang panas, yang membuat mati karena tidak sadar bahwa
kenyamanan akan membuat otak berhenti dan aliran darah mampat.
Sore ini, di tengah hiruk pikuk
jalanan di pinggir kota kecil ini. Saya perlu melihat adakah yang perlu
diselami lebih dalam. Sebagai manusia yang terlalu egois ini, mana lagi yang
perlu dipelajari. Dan sebaiknya, perlu melarikan diri dari kepenatan atas diri
sendiri yang tunduk dengan kenyamanan.
Saya mendengar dari ingatan dari
suara waktu masih kecil, optimisme muncul tanpa diminta, kerinduan atas
pemberontakan dan tidak mau mengalah atas pesimisme pun terdengar kembali.
Optimisme semakin kuat di ujung jalan yang buntu ini.
Keraguan akan menyelinap di sela
ketakutan, lalu membuat rasa takut menggeliat di dalam dada, membuat tersesak
di tengah himpitan hinaan. Namun apa lagi yang diperlukan, selain berserah atas
nasib baik dan akal sehat bahwa bagian terpenting dari manusia adalah dirinya
sendiri. Dimanakah yang bisa diandalkan dari orang lain, jika mereka menghilang
dalam keterpurukan, tapi berpura-pura
saat nasib baik berpihak.
Saya menikmati sukacita dalam
ketakutan sendiri. Mungkinkah ketakutan terhadap keliaran dan kebebasan atas
menentukan nasib sendiri adalah kemerdekaan? Ini keanehan dari seorang manusia
yang ringkih ini, bahwa ia adalah manusia yang penakut namun haus akan
ketidaknyamanan. Semoga kita bagian dari yang resah atas kenyamanan dan penakut
dalam ketidaknyaman. Sehingga kita benar – benar menjadi manusia.
0 komentar: