Katarsis,

Wednesday, March 05, 2014 Standy Christianto 0 Comments

Saat aku sedang iseng membaca tulisan di dunia maya, aku menemukan sebuah kata yang begitu bagus untuk menggambarkan sebuah tulisan yang bercampur emosi si penulis. Kata itu bernama KATARSIS. Istilah ini mampu menggambarkan situasi si penulis ketika menulis. Buatku, menulis adalah terapi emosi yang paling baik. Menulis adalah suara yang tersembunyi dalam huruf.

Merujuk pada itu, katarsis adalah perasaan yang melegakan ketika seorang penulis berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Perasaan kelegaan itu mampu menjadi semacam terapi bagi penulis. Dan aku merasakan itu. Emosi antara kemarahan, ketidakmampuan, keyakinan, ketidakyakinan, dan segala hal yang campur aduk itu menjadi satu.

Tulisan Goenawan Mohammad, esais usia 70an tahun itu, sungguh dapat mewakili itu. Saat aku membacanya beberapa tulisannya yang menggunakan intuisi seakan aku larut dalam tulisan itu, mungkin karena aku tidak mahir menerjemahkan tulisan yang terlalu rasio.

Katarsis, perasaan yang melegakan itu juga berpengaruh terhadap pembaca ketika membaca tulisan itu. Aku mengambil contoh esai favorit saya berjudul “ Di Korinthus”. GM mencoba memaknai cinta, dan mencoba merefleksikan itu dari kata ke kata. Korintus adalah sebuah surat bahasa ibrani, surat yang ditulis kepada penduduk kota korintus dalam perjanjian baru. Latar belakang penulisan surat itu  karena Kota Korintus yang hancur berantakan, penduduk kota yang saling berperang saudara, dan kacau balau.

GM mencoba merefleksikan cinta. Surat ini juga dikutip oleh Karen Amstrong dalam bukunya, yang menggambarkan cinta atau kasih kepada sesama manusia adalah inti dari jaman sebelum agama lahir. Mother Teresa juga menggunakan ini dalam kata- kata bijaknya. Mahatma Gandhi juga menggunakan ini.

Hari ini, aku mencoba merefleksikan ini. Mencoba untuk merasakan katarsis itu. Ini contoh tulisan GM :

di Korinthus,

“Cinta itu sabar…”. Perempuan itu mendengar. Di gedung yang tak dihuni itu, di bawah bulan yang nyaris seperti limau, seseorang datang membacakan surat-surat itu sepotong-sepotong: lembar-lembar di sampul kulit yang sumbing dan berdaki.
Ada yang mengatakan seorang Suriah telah membawanya melewati gurun. Tapi perempuan itu lebih senang membayangkan seekor sphinx yang terbang karena ia menyukai mimpi.
Tiga hadirin lain sedikit gugup. Ia mencoba mengingat-ingat wajah penulis yang pernah singgah itu — ia disebut “rasul” – dan memang ada seorang pembuat tenda dengan tunik lengan pendek yang dulu menginap di antara puing yang tersisa di Korinthus. Tapi kini hanya terasa kembali apa yang terpercik dari kata-kata si tua: harapan itu dalam namun jauh.
Lewat tengah malam, seekor kucing berjalan melintasi peristilium, seperti bayangan abu-abu, tapi lentur, nyaris tak terlihat, mungkin ia dewa yang terusir. Di sisi yang agak gelap dari beranda si pendatang meneruskan baris berikutnya: “Cinta tak irihati…”. Suara itu, dengan logat awak kapal, sedikit bergetar, sedikit asing. Atau mungkin hanya karena angin.
Di luar: jalanan kota tidur. Tak sengaja. Bukit di utara seakan-akan canggung menunggu fajar, dan kini perempuan itu menyimak gema yang terhimpun di teluk dari ombak yang bersungut. “Cinta tak menyombongkan diri”, kalimat berikutnya dibacakan, dan ia ingat sebuah sajak tentang camar yang menghilang, entah kenapa.
Berdiri di antara dua tiang yang gumpil, ia, yang merasakan malam tambah dingin, mengetatkan syalnya pada pundak. Seorang lelaki lain kini mengambil lembar-lembar itu dari si pendatang dan ia melihat sejumlah kalimat yang nyaris terhapus: “Cinta menanggungkan segalanya, percaya segalanya”. Ia membacanya keras-keras seakan-akan ada yang harus dikatakan kepada tanah genting yang kosong itu.
Ini contoh surat asli, saya kutip dari Karen Amstrong :

Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan, dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak memiliki kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitnya tidak ada faedahnya bagiku.

Kutipan lainnnya, setidaknya ini bisa melegakan ... 

Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu,. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.




You Might Also Like

0 komentar: