ADA - ada saja respon pembaca KORAN TEMPO dan WARTA KOTA, media yang memuat  tulisan saya di rubrik pembaca. ceritanya begini,

Tas saya hilang di atas kereta ekonomi, jurusan Stasiun Kota - Tangerang,
Hari itu tampak seperti biasa, Setiap Sabtu, saya selalu pulang dari Cibinong, tempat saya PKL, ke Tangerang, Tak disangka, tas saya hilang di Stasiun Duri. Dari sanalah, saya kecewa dengan pelayanan Kereta, bukan untuk melakukan pembelaan atas keteledoran saya. Tapi, karena Kamera CCTV di Stasiun Kota yang seharunya bisa menjadi bukti atas gerak -gerik pelaku, ternyata RUSAK. Wah, ironis sekali, di Stasiun sebesar dan sepenting itu, CCTV bisa tidak ada satu pun yang berfungsi.

"Saya telah membaca kejadian yang anda alami di KORAN TEMPO. Menurut saya, sebaiknya anda laporkan ke menteri perhubungan, karena dia pernah memecat kepala stasiun Kota, gara - gara peron kotor dan WC bau, seorang kepala stasiun pasti tahu CCTV tidak berfungsi, kenapa tidak di service/ganti yang baru. Yang jelas Dia tidak cocok jadi manager " - 081513199***-

Sms itu masuk sesaat saya bangun tidur. Pagi itu menunjukan pukul 10 pagi. Saya baru sadar beberapa menit, kalau itu adalah sms dari pembaca tulisan saya, yang pernah saya kirimkan tiga hari lalu.

Memang saya kirimkan tulisan, sebagai bentuk saran bagi perbaikan Stasiun, saya kirimkan ke empat media cetak : Berita Kota, Warta Kota, dan dua media Nasional : Koran Tempo dan Kompas. Setelah dikirim, tidak pernah menanti - nanti akan dimunculkan. Eh, ternyta tulisan saya di muat di Koran Tempo, Sabtu 6 Juli,  tepat seminggu setelah kejadian.

Pertama kali respon saya setelah membaca sms yang masuk, : tulisan ini bisa saja berefek panjang. Dibaca oleh siapa saja, termasuk Menteri. Efeknya, seseorang kehilangan jabatannya, Gara - gara saya !

Saya sedikit kuatir juga. Masalahnya, tidak ada niat sama sekali agar kepala stasiun bertanggung jawab atau siapapun, atas hilangnya tas saya.

Sms kedua. Beberapa jam kemudian, sms masuk,

" yth. Bp Standy Christianto, saya *********, mengelola Majalah ******. Kami turut prihatin dengan kejadian yang menimpa bpk di stasiun Kota, Atas seizin bpk, Kami bermaksud memuat ulang surat pembaca bapak (korantempo) di majalah kami, dengan harapan kejadian itu tidak menimpa orang lain. Terimakasih"
- 081767677***-

Sms ini masuk sesaat setelah saya baru pulang sehabis membeli KORAN TEMPO. Kalau isi sms ini saya setuju. Saya juga tidak kuatir. Sepaham dengan maksud saya menulis di media cetak, agar stasiun, primadona transportasi umum warga Jabodetabek ditingkatkan.

Alasan saya jelas, kenapa saya kirimkan tulisan saya. Pertama, saya berharap pelaku membacanya. Alasan ini  memang tampak konyol. Tapi, bisa sajakan? karena saya yakin masih ada orang baik di dunia ini. Kedua, ada saksi yang melihat kejadian, lalu bersedia menjadi saksi saya. Karena pelaku memang sudah tertangkap, tapi karena saya tidak punya bukti dan saksi, jadi dilepaskan. Ketiga, seandainya pelaku membuang surat berharaga saya, atau data - data kuliah saya, lalu pembaca kebetulan menemukannya bisa dikembalikan.

Alasan terakhir,  moda transportasi umum di jakarta HARUS diperbaiki. Kemacetan di kota ini begitu luar biasa. Satu - satunya cara adalah membuat pengendara bermotor berpindah menggunakan alat transportasi massal. Tapi kalau kereta, satu dari sekian banyak alat trsnportasi itu,  tidak aman, bagaimana mereka mau berpindah.

ehhhmmmm, memang lebih berkesan naik kereta. Sebelumnya saya menulis tentang perjalan kereta part I, dan part II kali ini benar - benar mRespon Pembaca Koran Tempo ( Perjalananan di Atas Kereta, Part II)     ADA - ada saja respon pembaca KORAN TEMPO dan WARTA KOTA, media yang memuat  tulisan saya di rubrik pembaca. ceritanya begini,  Tas saya hilang di atas kereta ekonomi, jurusan Stasiun Kota - Tangerang, Hari itu tampak seperti biasa, Setiap Sabtu, saya selalu pulang dari Cibinong, tempat saya PKL, ke Tangerang, Tak disangka, tas saya hilang di Stasiun Duri. Dari sanalah, saya kecewa dengan pelayanan Kereta, bukan untuk melakukan pembelaan atas keteledoran saya. Tapi, karena Kamera CCTV di Stasiun Kota yang seharunya bisa menjadi bukti atas gerak -gerik pelaku, ternyata RUSAK. Wah, ironis sekali, di Stasiun sebesar dan sepenting itu, CCTV bisa tidak ada satu pun yang berfungsi.  "Saya telah membaca kejadian yang anda alami di KORAN TEMPO. Menurut saya, sebaiknya anda laporkan ke menteri perhubungan, karena dia pernah memecat kepala stasiun Kota, gara - gara peron kotor dan WC bau, seorang kepala stasiun pasti tahu CCTV tidak berfungsi, kenapa tidak di service/ganti yang baru. Yang jelas Dia tidak cocok jadi manager " - 081513199***-  Sms itu masuk sesaat saya bangun tidur. Pagi itu menunjukan pukul 10 pagi. Saya baru sadar beberapa menit, kalau itu adalah sms dari pembaca tulisan saya, yang pernah saya kirimkan tiga hari lalu.  Memang saya kirimkan tulisan, sebagai bentuk saran bagi perbaikan Stasiun, saya kirimkan ke empat media cetak : Berita Kota, Warta Kota, dan dua media Nasional : Koran Tempo dan Kompas. Setelah dikirim, tidak pernah menanti - nanti akan dimunculkan. Eh, ternyta tulisan saya di muat di Koran Tempo, Sabtu 6 Juli,  tepat seminggu setelah kejadian.  Pertama kali respon saya setelah membaca sms yang masuk, : tulisan ini bisa saja berefek panjang. Dibaca oleh siapa saja, termasuk Menteri. Efeknya, seseorang kehilangan jabatannya, Gara - gara saya !  Saya sedikit kuatir juga. Masalahnya, tidak ada niat sama sekali agar kepala stasiun bertanggung jawab atau siapapun, atas hilangnya tas saya.  Sms kedua. Beberapa jam kemudian, sms masuk,  " yth. Bp Standy Christianto, saya *********, mengelola Majalah ******. Kami turut prihatin dengan kejadian yang menimpa bpk di stasiun Kota, Atas seizin bpk, Kami bermaksud memuat ulang surat pembaca bapak (korantempo) di majalah kami, dengan harapan kejadian itu tidak menimpa orang lain. Terimakasih" - 081767677***-  Sms ini masuk sesaat setelah saya baru pulang sehabis membeli KORAN TEMPO. Kalau isi sms ini saya setuju. Saya juga tidak kuatir. Sepaham dengan maksud saya menulis di media cetak, agar stasiun, primadona transportasi umum warga Jabodetabek ditingkatkan.  Alasan saya jelas, kenapa saya kirimkan tulisan saya. Pertama, saya berharap pelaku membacanya. Alasan ini  memang tampak konyol. Tapi, bisa sajakan? karena saya yakin masih ada orang baik di dunia ini. Kedua, ada saksi yang melihat kejadian, lalu bersedia menjadi saksi saya. Karena pelaku memang sudah tertangkap, tapi karena saya tidak punya bukti dan saksi, jadi dilepaskan. Ketiga, seandainya pelaku membuang surat berharaga saya, atau data - data kuliah saya, lalu pembaca kebetulan menemukannya bisa dikembalikan.  Alasan terakhir,  moda transportasi umum di jakarta HARUS diperbaiki. Kemacetan di kota ini begitu luar biasa. Satu - satunya cara adalah membuat pengendara bermotor berpindah menggunakan alat transportasi massal. Tapi kalau kereta, satu dari sekian banyak alat trsnportasi itu,  tidak aman, bagaimana mereka mau berpindah.  ehhhmmmm, memang lebih berkesan naik kereta. Sebelumnya saya menulis tentang perjalan kereta part I, dan part II kali ini benar - benar membuat cerita perjalanan kereta lebih berkesan, dan MENGESALKAN tentunya.  Ada lagi respon pembaca Warta Kota, malah ada temen kuliah, jauh - jauh dari Purwokerto, tinggal di Bekasi kemudian sms.Ia sadar kalau yang menulis di Warta KOta adalah saya.  Ada juga yang respon sms diluar dari yang dibanyangkan .. apa itu .. COMING SOON .....   embuat cerita perjalanan kereta lebih berkesan, dan MENGESALKAN tentunya.

Ada lagi respon pembaca Warta Kota, malah ada temen kuliah, jauh - jauh dari Purwokerto, tinggal di Bekasi kemudian sms.Ia sadar kalau yang menulis di Warta KOta adalah saya.  Ada juga yang respon sms diluar dari yang dibanyangkan .. apa itu ..
COMING SOON .....



#reflektif

Berpikir dalam tentang jalan pikiran. Tak memberikan ruang untuk menerjemahkan apa yang ada. Tak terdefinisikan apa yang terlintas.  Kadang membangun jalannya sendiri bahkan dalam keterbatasannnya. Atau mungkin Justru sengaja dibuat terbatas agar bisa menjelaskan mengapa terbatas.

Semua bisa dijelaskan, kecuali ketidakberhinggaan. Bandul akan dibiarkan bebas tebentur bandul lain. Tidak terbatas, kecuali benar – benar letih berbenturan. Memikirkan yang tidak seharusnya dipikirkan akan membuat semakin jelas berpikir.
Biarkan air mengalir sampai beradu kuat dengan bongkahan batu besar. Kontemplasi adalah memberi kesempatan gerak rasio dalam ruang intuisi untuk saling beradu. Biarkan itu terjadi.
Ide tak bersekat, bahkan dalam bongkahan kepala, masih ada imajinasi.  Tidak terlihat bukan berarti tidak ada.
Dengarkan dari suara gemericik sampai suara raungan.
Rasakan dari halus sampai kasar.
Ia tidak pernah terbatas. Jangan bunuh dia dengan keterbatasan...


Ruangan itu tampak besar. Meja sengaja disusun melingkar dengan microphone di meja, menandakan itu ruang rapat. Suasana pun tampak tegang. Maklum, itu rapat petinggi lembaga pendidikan tinggi.
Disisi lain, siapapun yang baru pernah disana akan merasa nyaman. Sandaran kursinya tinggi dan empuk. Ruang pendingin pun memanjakan suhu di sekitar. Sampai – sampai peserta rapat sesekali tertidur.
Di tengah kedinginan, pikiran saya melesat jauh ke belakang , dalam hati muncul pertanyaan, apakah rapat – rapat penentuan bayaran kuliah sebelumnya juga seperti ini?
Rapat dibuka dengan perbandingan nilai nominal uang kuliah di beberapa universitas lain.  Layar menunjukkan bayaran tertinggi sampai terendah. Saya tidak melihat biaya kurang dari 3 jt/semester disana. Mudah-mudah saya tidak salah melihat bahwa biaya termurah adalah 4 juta.  Saya pikir, itu representatif dari bayaran kuliah Perguruan tinggi negeri di Indonesia saat ini. 
Namun saya tidak habis pikir dengan respon petinggi – petinggi lembaga pendidikan ketika meilhat layar tersebut. Saya juga tidak bisa menebak alasan mengapa  pemimpin rapat menunjukan biaya perguruan tinggi lain di awal rapat.  Yang saya tahu, setelah itu mereka mulai menentukan ragu – ragu dengan membandingkan nominal biaya kuliah tempat lain.
Buat saya ini mungkin gengsi. Tapi saya juga bisa salah. Mungkin Para petinggi tidak rela kampusnya lebih murah dari kampus lain.  Kalau biaya kuliah murah artinya mereka bekerja di kampus yang murah.  Kampus yang murah tentu tidak sesuai dengan pakaian dan mobil mereka yang necis.
Logika saya tampaknya tidak bisa menerima bahwa mencetak manusia Indonesia yang cerdas harus mahal. Dosen saya suatu kali pernah cerita, ketika mendapatkan kuliah di India, ia diajarkan dengan fasilitas yang minim. Mereka mengunakan kapur. Saya percaya dengan dosen itu, karena saya pernah menonton film “3 idiots”. Mereka juga mengunakan kapur.
Tapi jangan tanyakan seberapa cerdasnya orang India. Saya tidak perlu jelaskan panjang lebar, karena sudah ada motor gede “made in India”. Sampai hari ini India punya satelit “made in India”  yang setara dengan Amerika dan Perancis. Mereka menunjukan bahwa menjadikan manusia yang unggul tidak harus mahal dan fasilitas yang mewah.
Saya juga tidak habis pikir dengan logika pendidikan hari ini. Saya melihat penentuan biaya kuliah laiknya pelelangan. Hukum tawar menawar lebih berlaku di rapat ini daripada pertimbangan rasional kemampuan materi orang tua mahasiswa. Perdebatan seputar Jurusan yang sepi peminat seharusnya lebih murah. Jurusan primadona layak untuk lebih mahal. Ini lebih mirip rapat perusahaan daripada rapat lembaga pendidikan.
Mungkin ini tidak bisa diambil mentah – mentah. Tapi realitasnya daya intelektual kita akan terbatas jika perdebatan akademis masih berkutat pada fasilitas pendidikan. Saya juga tidak menafikan bahwa fasilitas juga pendukung. Tapi Kalau kita bisa memakai kapur, mengapa harus memakai spidol. Kalau sepakat pakai spidol, berarti masalahnya bukan pada spidol, tapi akutanbiltas dari harga spidol. 
Rasanya, teman saya benar bahwa pendidikan kita mengalami kemunduran. Mungkin Plato juga menyesal ide Academus, cikal bakal universitas, untuk mencetak/mendidik seorang yang intelektual, (Plato lebih setuju mengunakan istilah diskusi, dari pada mendidik). Tapi malahan menjadi proyek fasilitas bagi petinggi Academus sekarang.
Saya merasa kurang adil jika mahasiswa ajari untuk kritis, tapi tidak boleh mengkritisi gurunya sendiri yang  tidak terbuka dalam menentukan fasilitas pendidikan untuk muridnya.
Saya berada dalam satu kesimpulan di dalam rapat itu. Bahkan seorang petinggi lembaga pendidikan pun tidak peduli dengan keilmiahan dalam menentukan biaya.  Rasanya, mereka tidak peduli ada anak orang lain yang tidak bisa kuliah karena biaya kuliah yang kian mahal. Lalu, siapa lagi yang  masih peduli ?











Lingkaran

Filosofi Lingkaran : Tidak berujung, Tidak bertepi, Simbol keabadian..

Salah,

Mari hitung kesalahan,
satu ..
dua...
tiga...
empat...
teruskan, hitung
lima..
enam...
emmm..
kenapa berhenti,
takut, lupa, tidak sanggup