Gaze,

Wednesday, January 29, 2014 Standy Christianto 0 Comments

: Januari 30th, 2014

stay a while,
I’m gazing the way you move, from far
Never look back since then
I wont have to wander the woods again

Seberapa lama dan seberapa jauh lagi ?
dalam keheningan yang benar – benar hening.
Dalam renungan yang dari kemarin dan kemarin.
Aku tidak lagi berfilsafat.
Tidak mau seperti penceramah di hadapan jemaat.
Dalam  keruntuhan hari
semakin lama 
semakin menguap dan meluap.

I’m watching the story goes so far
Only a little while
It seems fits right in to my head but then
Lights go down curtain falls
That’s how this story ends
As the day passes by
I knew that this gaze was long overdue

Seberapa lama dan seberapa jauh lagi?
aku bisa melihatmu lebih dekat.
Dari dekat.
Tanpa sekat.

Stay a while, still gazing the way you move, from far
I’m taking it harder now I know,
Shows coming to an end

Seberapa lama dan seberapa jauh lagi?
Jika suatu saat nanti
Dalam relung hampir punah
Dalam jiwa terkoyak lemah
Dalam saksi  diam membisu
Tidak juga pergi menjauh

Stay a while, I’m taking my final gaze you see
Gonna look back this time
I will wander the woods again my dear

Seberapa lama dan seberapa jauh lagi?
Menahannya sampai tumpah.
Membanjiri  kubangan yang sudah penuh.

Night will fall You see the city glows again
You see the morning comes to soon
that’s how the circle goes around
Here and there Always a story from somewhere
Always another line to say
No I won’t stay along this line
of falling pieces lying somewhere

apa kabarmu?
seberapa lama dan seberapa jauh lagi?
kamu masih sama dan disana?
Bolehkah aku bawa kamu balik arah.
Sebelum aku kelelahan.
....

****

: Oktober 28th, 2013


Tinggal untuk sementara waktu,
kesan telah lalu,
membuat mati menunggu,

stay a while,
I’m gazing the way you move, from far
Never look back since then
I wont have to wander the woods again

Bisa saja mujur,
Kembali ke jalur,
Ah, aku sedang melantur,

I’m watching the story goes so far
Only a little while
It seems fits right in to my head but then
Lights go down curtain falls
That’s how this story ends
As the day passes by
I knew that this gaze was long overdue

Lupakan cerita,
Sampai semua mereda,
Dan aku pun menunggu lupa,

Stay a while, still gazing the way you move, from far
I’m taking it harder now I know,
Shows coming to an end

menunggu mati,
sampai suatu hari,

Stay a while, I’m taking my final gaze you see
Gonna look back this time
I will wander the woods again my dear

perlahan menjauh,
sedikit demi sedikit akan penuh,
dengan segala keluh,
tertutupi  keruh, 

Night will fall You see the city glows again
You see the morning comes to soon
that’s how the circle goes around
Here and there Always a story from somewhere
Always another line to say
No I won’t stay along this line
of falling pieces lying somewhere

semua akan berakhir,
dan aku berhenti,
sampai  langkah terakhir,
aku perlahan mati,
dan mati.
... 
...



0 komentar:

Pesan,

Wednesday, January 29, 2014 Standy Christianto 0 Comments

aku hanya ingin sampaikan ini :
Prediksiku tepat, pilihan yang "main-main" juga sebuah pilihan, sama seperti "tidak memilih". Pilihan atas kepergian, juga pilihan. Termasuk terjebak dalam pilihan yang "main-main", "serius", atau "tidak memilih". Kamu pergi, itu juga pilihan. aku masih disini, juga pilihan. Setelah semua ditunjukan, dihubungkan, dan dikaitkan. Pada akhirnya, manusia akan memilih.
"Tidak memilih" itu pilihan. Dari pilihan - pilihan itu, kita bisa menilai. Apakah manusia mau bertarung atau berjuang. Manusia yang "tidak memilih", adalah memilih tidak mau bertarung dan tidak mau berjuang. Orang yang tidak mau bertarung adalah orang yang tidak berhasrat ingin menang. Aku mau bertarung. Aku mau berjuang. Maka aku memilih menunggu sampai kelelahan. Batasnya : sampai lelah. Paling tidak, aku tidak akan menyesal, karena pernah bertarung dan berjuang. Selebihnya, terserah padamu. 


  

0 komentar:

Pucuk Gunung,

Sunday, January 19, 2014 Standy Christianto 0 Comments


Ketika aku keluar dari rumah, aku melihatmu berselimut kabut dengan malu – malu. Tiap kali aku mengintip dari luar pagar, kau berselimut putih. Aku dibawah sini. Di tempat aku berpijak dengan pagi yang berisik. Kau cantik, juga gagah berdiri angkuh.  Aku memandangmu selalu dari jauh, tepat dari depan rumah ke arah utara.

Kau membawaku dengan penasaran. Kau sebentuk materi yang ingin sekali ditaklukan.

Sudah lama aku ingin menaklukanmu demi keberanian dan penasaran. Katanya, keberanian datang dari menantang diri sendiri. Menaklukkanmu adalah kebanggaan diri. Sekaligus pembuktian, jika suatu saat aku tinggalkan kota ini, aku punya kenangan telah berada di pucuk yang selalu aku lihat dari jauh, tepat dari depan rumah. Suatu saat aku rindukan kota ini. Kaulah salah satu pengingat rindu itu.

Malam dengan hujan rintik. Tepat setelah adzan maghrib berkumandang, aku berjalan sedikit cemas.  Gelap membuatku takut. Pun aku tahu, tidak semua gelap membuat orang kalap. Buktinya, justru dalam gelapnya malam, indahnya bintang terlihat. Sayang, malam itu hujan lama-lama semakin keras, jangankan bintang, binatang malam pun sembunyi karena raungan petir.

Kau terlalu sakti untuk ditaklukan satu hari, atau mungkin aku yang terlahir terlalu ringkih. Kau makin sakti dengan gemuruh hujan badai tropis di bulan Januari. Tentu kau tidak mau disalahkan karena iklim hujan tropis bukan darimu, tapi kodrat pembagian bumi kutub utara dan selatan.

Apakah kau yang ijinkan badai besar yang menggoyang tenda ? Di suatu malam aku kedinginan dengan selimut tebal. Aku masih terjaga dengan menahan kaki yang lecet.

Kau tidak menjawab. Kau diam saja, bikin terlihat garang. Aku melihat tepat di ujung, kau galak dengan gemuruh lava. Badanmu berdebu berkelindan asap vulkanik. Tepat saat matahari terasa dekat, Hidungku sakit menahan dingin. Yang lain memakai sun block, aku tidak. Karena aku ingin merasakan panas yang murni menusuk kulit, udara yang suci, dan letih yang menusuk dada.

Aku menikmatimu saat tepat di ubun-ubunmu. Aku menghirup napas dalam udara yang suci, menghelanya perlahan. Aku melihat ke bawah tidak lagi mendongak. Aku tinggalkan beban – beban dan belenggu-belenggu peradaban manusia di bawah disana. Aku tidak lagi mendengar tangisan, ringkihan, kemunafikan, ketidakadilan, keserakahan, kesombongan, dari manusia yang sok paling tahu dan sok paling benar.

Aku menikmatimu, semesta alam. Mataku tidak lepas melihat birunya langit dengan kumpulan awan. Lengkukan aliran hulu ke hilir seperti  cacing besar yang meliuk lucu. Indahnya  bumi dan langit siang itu membuat ku lega. Aku terlalu kecil untuk kuatir dengan apa yang aku inginkan. Aku terlalu sombong  dengan keinginan yang berlebihan. Aku terlalu sempit berpikir hidup ini tidak adil.

Siapa yang menciptakan kau seindah ini ?  siapa yang menaruhmu begitu dekat ? siapa yang menjadikanmu begitu anggun ? siapa yang membentukmu seperti itu?

Kau luar biasa, kau begitu indah...







0 komentar:

Baik,

Friday, January 10, 2014 Standy Christianto 0 Comments

Konteks lebih penting dari pada teks. Aku memaksa dingin untuk menggangu pikiran, agar malam yang telah larut ini menjadi saksi. Ada bagian dalam diri manusia yang tidak seluruhnya perlu diketahui manusia lain, yaitu cara berpikir dan mengular. Bagaimana manusia akan menjalani sisa hidup dengan baik, karena hidup tidak mungkin berbalik.

Seperti malam yang selalu larut dengan kesal, tidak akan habisnya jika diratapi. Ia berselimut iri. Segala sesuatu yang baik selalu kalah dengan jahat. Kelembutan mungkin kalah dengan pukulan. Keramahan mungkin akan kalah dengan hardikan. Dan segala yang menyakiti akan bisa membawa lari seseorang.

Kemudian pertanyaan mengular panjang, harus sebaik apa manusia agar ia bisa diterima. Sebaik kakek tua yang suka sekali memberi permen kepada cucunya. Atau malah menjadi algojo yang baik hati, terus menghukum agar semua orang tahu, ia bak penghukum agar ia mendapat hormat. Orang tunduk dan menjadi hamba.

Bukankah tidak ada yang mau menjadi budak atau hamba. Budak akan diberikan sebuah ketakutan. Logika hukuman akan menjadi jalan keluar. Tubuh si budak berada di tempat. Ia bergerak sesuai perintah. Berdiri dengan aturan. Langkahnya diarahkan. Hidupnya terkekang. Sesekali mendapat makanan. Tapi dalam tubuh yang terkekang, makanan adalah kenikmatan tiada tara. Dalam ketakutan yang berlebihan, niat baik berbentuk makanan akan menjadi patokan kebaikan. Algojo berubah menjadi orang "baik"

Aku usai bekerja menemani para perempuan malam yang malang. Kasihan mereka. Ditengah hujatan para pemuka, ia harus berjuang dari kebobrokan negeri ini. Di tengah hiruk pikuk para lelaki hidup belang mereka pertaruhkan kehormatan. Uang bak sorga. Pekerjaan mereka diagungkan oleh lelaki brengsek dan dihujat oleh lelaki itu juga. Oleh Lelaki yang brengsek itu juga ia dirayu, diperlakukan bak bidadari, tidak jarang juga diperistri.

Seperti madu di tengah hutan, para brengsek itu adalah orang baik bagi para pelacur. Padahal mereka juga telah mengkhianati keluarga di rumah. Ia baik bagi perempuan lain, juga bajingan bagi perempuan lainnya.

Akhirnya, manusia bisa menemukan yang “baik”. Tapi ia terjebak dalam memilih yang baik. Dalam hatinya ia yakin bahwa segala yang baik telah disediakan di depan mata. Dengan segala pengalamannya ia mampu menilai bahwa orang yang di depan matanya adalah yang terbaik. Inilah yang dimaksud kebaikan dan keagungan. Seperti lelaki brengsek, yang selalu bisa menempatkan diri agar terlihat baik.

Kemudian apa yang dicari di dunia ini. Jika orang brengsek pun mendapat tempat. Kebaikan yang terus menerus akan terlihat baik, jika diselimuti senyum. Bagaimana seorang suami yang pukuli istrinya setiap hari, kemudian ia juga main dengan pelacur, tapi istrinya keliatan baik-baik saja. Atau sebaliknya, bagaimana dengan suami yang baik hati, tidak pernah memukuli, tidak pernah diselingkuhi, tapi mendapat perlakuan yang buruk dari istrinya.

Kadang kebaikan kian tenggelam. Orang yang jahat selalu mendapat tempat. Ia bisa seenaknya mengikuti nafsu, hasrat untuk menyakiti. Sedangkan ada orang yang dilahirkan hanya bisa meratapi, ia terus menerus takut membalas menyakiti, memilih diam saja.

Mungkin ini alasan manusia berhak untuk berbuat jahat. Akhirnya, yang baik berubah menjadi jahat. Karena hidup tidak pernah adil. Mengapa kejahatan dibiarkan begitu saja. Dimanakah segala yang punya kuasa menempatkan jahat di tempat yang jahat, baik di tempat yang baik ? Mungkin alasan ini ada orang yang bertanya tentang keberadaan Tuhan yang adil. Hukum yang adil.

Di atas motor yang berjalan santai, aku mengingat – ingat kesimpulan : keadilan tidak pernah habis. Dunia ini tidak pernah adil. Keadilan yang dicari kian absurd. Kita akan kelelahan mencari keadilan. Konteks lebih penting dari teks.  Masih ada orang baik di dunia ini. Dan berusaha menjadi baik, demi sebuah ketenangan dalam dirinya, agar tidak dikejar rasa bersalah. Lupakan dulu sejenak tuntutan keadilan.

0 komentar:

Kamu Tahu ?

Wednesday, January 08, 2014 Standy Christianto 0 Comments


Kamu tahu apa itu ketenangan ?
Adalah aliran sungai yang mengalir dengan santai. Kemudian ada dedaunan yang mengikuti alurnya. Terbawa aliran itu sampai jauh tanpa diminta. Keasyikannya melebihi bianglala di pasar malam atau permainan lain yang kubayangkan. Rasanya seperti menikmati masakan lezat di bawah lampu taman warna jingga dengan minuman hangat. Ada seorang pelayan yang ramah menawarkan kita makan dan minum saat habis. Duduk berhadapan denganmu. Kita bicara dengan pelan dan perlahan. Kamu anggun dengan tawa kecil dan pakaian yang telah dipersiapan dengan detail. Ya, hanya kita berdua.

Kamu tahu apa itu kejujuran ?
Adalah pertanyaan yang sering keluar yang tidak pernah diinginkan itu. Itu menandakan semakin penting keberadaanmu. Seperti malam yang tidak bisa membuatku tidur. Darah yang mengalir kencang melewati urat – urat nadi. Mungkin nadiku diciptakan hanya untuk menyampaikan pesan ketika merindu. Setiap malam yang terjaga, selalu bermimpi di tempat kamu berada. Seperti bunyi pukulan penjaga malam di tiang listrik tiap jam, menandakan betapa sering aku mengingatmu tiap malam. Binatang malam yang bosan mendengar umpatan, karena mereka mengacaukan ingatan saat bersamamu ditiap gerakan. Ya, hanya aku dan ingatanku.

Kamu tahu apa itu kekuatiran ?
Adalah segala cara apapun yang bisa ditukar dengan bahagiaku, jika aku mendengar kamu mengerang kesakitan. Jika aku tahu, hidupmu diratapi dengan kesendirian dan kesakitan. Seperti para pecandu yang tidak tahu cara menikmati hidup. Aku bersedia mengantarmu ke tempat yang tidak pernah di sentuh siapapun. Demi apapun aku bersedia menemani saat kesendirian hinggap. Seperti para pemusik dengan saxophone dan piano mengalun irama musik jazz, penuh improvisasi nada minor yang mengejutkan namun enak dinikmati. Atau kamu ingin badut warna warni berbentuk kartun yang didandani sedemikan rupa, aku akan menyiapkan peluru untuk melucu kapan pun. Ini sulit bagiku. Tapi okelah. Demi sebuah jenuh yang saling bergiliran. Semua harus kembali utuh dengan lengkuk senyum yang pertama kali saat manusia percaya kebahagiaan. Ya, hanya aku dan sakitmu.

Kamu tahu apa itu kesendirian ?
Adalah segala cara dilakukan di tempat keramaian demi kesenangan. Seperti keutuhan dalam perjalanan yang tidak pernah habis dimaki. Seperti berjalan di garis pantai menatap ke depan dengan pandangan yang luas, terkaget, ternyata aku jalan sendiri. Kesendirian adalah paradoks : sepi yang selalu ada di tempat ramai. Seperti dua mata sisi mata uang yang tidak akan laku jika tidak ada sisi lain. Sepi adalah keengganan berdiri asyik dengan lamunan yang tidak kunjung selesai. Sepi adalah kemuakan dengan rumus relativitas yang tergantung dari subjektivitas. Kamu adalah rumus absolut, kata Newton berada dimana pun dalam ruang dan waktu. Ya, keheningan yang paling senyap adalah penuh harapan kebersamaan.


0 komentar:

Lagi,

Friday, January 03, 2014 Standy Christianto 0 Comments

Aku tidak bisa tidur karena ingatan. Geliat darah mengalir kencang. Aku melambung jauh ke belakang, mengular panjang berputar tidak karuan. Diriku mengindentifikasi apakah ini benar benar lakilaki.  Aku lemah tidak karuan. Aku  dibawa tubuh yang berisi ingatan.

Aku duduk di atas pasir. Aku rasakan hangat lembayung senja. Sengaja aku tak bergerak. Memilih diam. Memilih tak bergerak. Tidak mau diganggu dengan hembusan pasir. Aku punya deburan ombak yang berisik. Juga binatang kecil yang membuat lubang sembunyi.

Aku makin tidak tahan. Aku rengkuh pasir yang lama kelaman keluar dari sela-sela jari. Aku mengenggam keras, tapi makin habis pasirnya. Aku menahan ingatan. Jangan keluar. Jangan. Tetap saja mata memaksa perhatikan detail lanskap pantai, mencari gerak gerik yang sudah usang.

Rasio melawan, alasan tidak pantas. Aku bukan siapa siapa. Bagaimana pantas untuk mengingatnya. Laiknya air yang terus menerus menuju bibir pantai, masuk ke pori lama-lama mengendap, semakin lama membumbung. Tidak  kuasa menahannya. Ia jadi kubangan sejadijadinya.

Maaf, lakilaki ini merindumu lagi. Maaf.

0 komentar: