Takut,

Monday, March 16, 2015 Standy Christianto 0 Comments

Saya lama tidak berbenturan dengan ketakutan yang sesungguhnya. Bukan berarti saya telah mati rasa, atau memang tidak ada lagi yang ditakuti. Saya merasa ketakutan yang menyelinap akhir –akhir ini adalah semu. Tapi sore ini setelah pulang kerja terakhir sebagai pekerja, saya merasakan ketakutan. Ya, saya  takut.

Keputusan yang lama sekali dibuat, akhirnya saya perlu bersikap. Saya merindukan dunia di luar sana yang liar, yang tidak jelas dan yang membuat takut. Karena keadaan yang nyaman membuat lemah, dan semakin lama membuat otot dan otak semakin tidak berdaya. Seperti semut berjalan di atas besi yang ujungnya dipanaskan. Ia merasakan kehangatan demi kehangatan, kelihatannya mengasyikan padahal mematikan.

Saya perlu ketakutan yang sesungguhnya, agar kemanusiaan terlihat, sebagai manusia yang  memiliki kemampuan beradaptasi dan bertahan hidup. Yang mengerti bahwa setiap detik waktu adalah berharga. Saya tahu, suatu saat saya akan mati kelaparan, atau mungkin kelelahan karena berjalan terlalu lama.  Bukankah itu lebih baik daripada mati di atas besi tua yang panas, yang membuat mati karena tidak sadar bahwa kenyamanan akan membuat otak berhenti dan aliran darah mampat.

Sore ini, di tengah hiruk pikuk jalanan di pinggir kota kecil ini. Saya perlu melihat adakah yang perlu diselami lebih dalam. Sebagai manusia yang terlalu egois ini, mana lagi yang perlu dipelajari. Dan sebaiknya, perlu melarikan diri dari kepenatan atas diri sendiri yang tunduk dengan kenyamanan.

Saya mendengar dari ingatan dari suara waktu masih kecil, optimisme muncul tanpa diminta, kerinduan atas pemberontakan dan tidak mau mengalah atas pesimisme pun terdengar kembali. Optimisme semakin kuat di ujung jalan yang buntu ini.

Keraguan akan menyelinap di sela ketakutan, lalu membuat rasa takut menggeliat di dalam dada, membuat tersesak di tengah himpitan hinaan. Namun apa lagi yang diperlukan, selain berserah atas nasib baik dan akal sehat bahwa bagian terpenting dari manusia adalah dirinya sendiri. Dimanakah yang bisa diandalkan dari orang lain, jika mereka menghilang dalam keterpurukan, tapi  berpura-pura saat nasib baik berpihak.

Saya menikmati sukacita dalam ketakutan sendiri. Mungkinkah ketakutan terhadap keliaran dan kebebasan atas menentukan nasib sendiri adalah kemerdekaan? Ini keanehan dari seorang manusia yang ringkih ini, bahwa ia adalah manusia yang penakut namun haus akan ketidaknyamanan. Semoga kita bagian dari yang resah atas kenyamanan dan penakut dalam ketidaknyaman. Sehingga kita benar – benar menjadi manusia.




0 komentar: