Kursi Lipat

Wednesday, February 29, 2012 Standy Christianto 0 Comments

Kereta ekonomi tidak lagi seperti dulu. Saya pun tidak lagi membawa kursi lipat , yang biasa saya hamparkan di lantai kereta. Saya juga tidak bisa merasakan angin semilir di pintu kereta. Kereta sekarang sudah berubah drastis.

Saya kaget, tiket ekonomi  ada cap bertuliskan  “ dilarang merokok”. Saya yakin orang yang biasa naik ekonomi, pasti juga sama, merasa surprise karena PT. KAI telah melarang orang merokok.

Walaupun  lokomotif tidak lagi berasap. Tapi penumpang ekonomi sudah indentik dengan merokok. Dan PT. KAI melarang itu. Jujur saja,  waktu pertama kali berpikir tentang ini. Saya berkata dalam hati, “mana mungkin,”. Tanda tidak yakin.

Tidak hanya di tiket, ternyata  tulisan “dilarang merokok” juga ada di dinding gerbong. Dari ujung ke ujung. Luar biasanya, sepanjang perjalanan Purwokerto – Jakarta,  saya memang tidak lihat orang merokok di kursi penumpang. Tapi penjual rokok masih tetap ada. Artinya, penumpangnya “nurut” untuk tidak merokok.

Kembali ke kursi lipat. Kursi lipat yang saya maksud adalah koran bekas. Ya, tiap kali yang pertama saya persiapkan ketika naik ekonomi adalah tempat duduk pribadi itu. Maklum, sulit mendapatkan tiket  bernomor, kalau sudah naik ekonomi.

Tapi, sekarang kereta sudah berubah. Tiket ekonomi harus pesan, tidak dijual hari pemberangkatan. Sekarang, naik ekonomi sudah selayaknya kelas bisnis atau eksekutif.

Ada yang berbeda memang. Rasanya, PT. KAI ingin mengubah citra kereta ekonomi, dulu yang berasap, terkesan berdesakan, kotor, semerawut, ingin diubah sedemikian rupa.  Termasuk, mengeluarkan kereta ekonomi ber-AC, namanya bogowonto. Ini pertama kali ekonomi ber-AC.  

Kereta ekonomi, seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, adalah tempat interaksi sosial dari berbagai kalangan, dan moda transportasi umum yang paling merakyat. Tapi tampaknya, PT. KAI ingin menyingkirkan itu.


Kereta ekonomi merupakan moda transportasi yang bersubsidi pemerintah. Kereta ekonomi sering merugi, karena kesemerawutan itu, banyak yang naik tanpa membayar, atau bisa juga membayar tidak resmi, yaitu bayar di atas kereta, biasanya bayar pada oknum petugas bagian restorasi (tempat makan).

Kalau dipikir – pikir, PT.KAI melakukan perubahan untuk kereta itu baik, dan harus dilakukan. Tanpa disadari, penertiban kereta ekonomi tidak serta merta agar kereta terlihat lebih rapi.  

Coba lihat dari sisi lain, pemerintah perlahan ingin mencabut subsidi untuk kereta. Pertama kali, bogowonto diluncurkan seharga 60 ribu, hal yang wajar, tapi sekarang kereta bisnis (purwojaya) saja kalah mahalnya.

Adalagi, kereta logawa juga naik, perlahan tapi pasti. Lama – kelamaan, kereta tujuan Jakarta juga pasti naik. Alasanya bisa ditebak, karena kereta telah berubah. Padahal, kereta tidak mengunakan bahan bakar premium, yang digadang – gadang bakal naik. Kereta memakai solar.

Perlahan tapi pasti, kereta akan dicabut subsidinya. Kereta ekonomi ber-AC hanya retorika, karena harganya sama saja dengan kereta kelas atas.  Label EKONOMI, cuma mengalihkan pandangan agar terkesan murah, padahal subsidi negara telah dikurangi. 

Ekonomi yang tidak ber-AC pun kini tidak seramah dulu. Harganya perlahan akan naik. Tinggal tunggu waktu. Sistem pemesanan, bahsa lain dari "cari saja alat transportasi lain". 

Saya tidak bisa bayangkan jika kenaikan BBM juga nanti berpengaruh terhadap alat transportasi darat lain, termasuk BUS. Naik apa nanti saya ? kalau semua mahal. 

Saya masih menyimpan kursi lipat di dalam tas. Tersimpan karena tidak terpakai. Kereta memang sudah berubah, tidak seramai dulu. Tidak merakyat seperti dulu. Lama – kelaman, kereta akan menjadi kendaraan mewah.

Sambil melihat alam yang gelap diluar, saya berpikir,
Kini, ia memecah malam dengan angkuh. Ia masih berjalan di atas rel, tapi takut tergilas zaman. Kelak zaman yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang bersekat.


0 komentar: