Generasi Millenial dan Perubahan*

Wednesday, May 11, 2016 Standy Christianto 1 Comments

*tulisan ini pernah diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan dalam rangka 70 Tahun Indonesia Merdeka

Tujuh puluh tahun bukanlah usia yang dibilang muda. Jika ini adalah manusia, tentu ini sudah menjadi manusia yang renta. Ia hanya manusia uzur yang menunggu mati. Manusia yang tidak lagi bergairah bicara tentang perubahan. Padahal perubahan dan kemerdekaan merupakan sebuah garis lurus dari peradaban.

Pemuda menjadi bagian yang penting dalam mempertahankan kemerdekaan sejak dulu, sekarang, atau nanti. Kita perlu menyoroti kata – kata Soekarno yang patut direnungi, “berikan aku seribu orang tua niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya, beri aku sepuluh pemuda, niscaya kuguncangkan dunia,”

Setiap peradaban memiliki jamannya sendiri. Beberapa tahun belakangan dan tahun ke depan akan menjadi milik generasi millenial. Terminologi ini adalah generasi yang dimiliki oleh orang yang lahir pada tahun 1980 – 2000-an, yang lahir dari gempuran era digitalisasi.  Generasi millenial muncul untuk menjadi generasi yang paling canggih, yang lekat dengan teknologi seperti Ipod, Mp3, kamera, ponsel. Generasi ini disebut sebagai anak – anak remote control karena mereka menghadapi perubahan terus menerus

Ironi tentang generasi milenial, Majalah Times edisi Mei 2015 membahasnya dengan judul cover ‘the me me me generation, milenial are lazy, entitled narcissists, who still live with their parents’, peradaban ini adalah milik generasi berkarakter narsistik, apatis, dan cenderung individualis. Hal ini didasari karena kedekatan dengan internet dan media sosial yang bisa diakses sembari bersantai di kamar dengan gadget di genggaman tangan. Teknologi adalah mainan baru yang membuat asyik dengan dunianya sendiri, menjadi generasi yang nyaman dalam kesendiriannya, bahkan apatis.
Jika kita pengguna internet dan media sosial, mungkin kita menjumpainya di lini massa dengan foto narsis dan nyinyiran khas generasi ini.

Di samping keadaan itu, tahun 2020 kita akan menyambut bonus demografi, artinya generasi milenial akan berada di usia yang produktif, atau lebih jelasnya penduduk dengan usia produktif menjadi sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Ini tantangan terbesar dalam menyambut indonesia ke depan.

Kata “perubahan” masih melekat dalam diri pemuda sampai sekarang. Pemuda adalah masa depan bangsa, begitulah kira – kira yang selalu didengungkan oleh para pemimpin. Namun jika melihat realita pemuda, khususnya yang lahir ketika digitalisasi menggempur peradaban sekarang ini, tentu kita pantas bertanya dengan jujur : masihkah relevan mengandalkan pemuda di era digitalisasi jaman sekarang ?

Jika  berharap perubahan dapat berawal dari media sosial, tentu kita perlu melihat contoh dari negeri yang jauh, pada awal tahun 2011, Khaled Said, seorang pemuda mesir, meninggal tidak wajar. Ia menjadi korban penyiksaan di sebuah warnet di Alexandria oleh polisi. Mulai dari kejadian tersebut, kemudian muncul akun Facebook sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk melakukan diskusi untuk mengkristisi pemerintah Khusni Mubarok saat itu sembari mengumpulkan ide untuk melakukan perubahan bagi negerinya, kemudian di tahun yang sama, beberapa bulan berikutnya, muncul gerakan sosial menduduki lapangan Al-Tahrir, dan kita tahu akhir dari cerita tersebut. Setidaknya, ada gerakan perubahan disana.

Di Tiongkok daratan, tepatnya Hongkong, kurang lebih sama, Joshua Wong, Seorang pelajar yang memimpin ribuan pengunjuk rasa untuk turun ke jalan memprotes China yang tidak memberikan kebebasan Hongkong untuk menentukan nasibnya sendiri, hanya melalui media sosial twitter, mereka yang setuju dengan aksinya memposting foto – foto dan melakukan protes, demi sebuah perubahan.

Mesir dan Hongkong adalah contoh dari negara yang masyarakatnya mampu menggunakan sumber daya manusia, teknologi, dan media sosial yang terhubung satu sama lain, demi memperbaiki bangsa.
Di Indonesia sudah pernah terbukti menjadikan internet sebagai gerakan baru untuk menjadikan Indonesia untuk melawan korupsi. Bermodalkan genggaman tangan, dimulai gerakan satu juta facebook untuk mendukung pemimpin KPK. Tapi melawan korupsi tidak dapat dilakukan satu hari. Akhir- akhir ini, ada indikasi kriminalisasi KPK kembali, namun media sosial tidak terjadi lagi untuk anti-kriminalisasi KPK yang sekarang ini, artinya belum mampu menjadi gerakan perubahan besar yang permanen dan konsisten, hanya berupa gerakan spontanitas, latah, dan seakan ikut-ikutan.

Hal ini menjadi ironi, mengingat Indonesia merupakan pengguna facebook terbesar keempat  dan pengguna twitter terbesar kelima di dunia. Bahkan, twitter telah membuka kantor di Indonesia, ini menunjukan bahwa Indonesia adalah santapan empuk para pebisnis media sosial. Diantara pengguna itu, adakah salah satu dari kita untuk berniat memposting tulisan yang menggugah kehausan terhadap perubahan bagi negeri, selain pamer foto selfie?

Sebuah penelitian mengungkapkan media sosial sangat dipengaruhi oleh kelas menengah, merujuk penjelasan dari politicawave, kelas menengah adalah mereka yang secara ekonomi  tidak bisa dibilang kaya, juga tidak miskin. Berada di kelas antara kelas atas dan bawah secara kuantitatif ekonomi.

Kita  sering menjumpainya di lini massa berkicau tentang apa pun, responsif terhadap hal – hal yang tidak sesuai menurutnya. Namun lemah dalam memberikan gerakan sosial. Spesialisasinya berkicau di lini massa ribuan kali namun enggan bergerak untuk berubah. Kelebihannya mereka  menguasai ruang publik di teknologi dan media sosial. Mereka juga sangat mandiri dalam mencari informasi dan data, namun apatis.

Merujuk itu, saat ini kelas menengah dikuasai oleh usia produktif, kebanyakan dari mereka adalah pemuda dan mahasiswa. Sejalan dengan generasi millenial, kelas menengah menjadi gerakan sebatas kicauan di ruang – ruang maya dan internet.  Kelak di tahun 2020 saat menyambut bonus demografi, mereka menjadi pemegang posisi strategis di pemerintahan, swasta, dan masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan bisa jadi koreng yang menjalar di tubuh negara karena dilahirkan dari kondisi yang serba ada, enak dan nyaman, karena tanpa melalui perjuangan mengangkat senjata.
Bukan sesuatu yang kuat yang dapat bertahan hidup, namun yang mampu beradaptasi dengan perubahan jaman. Kita tentu ingin Indonesia yang hidup seribu tahun lagi, bukan sekedar hidup seratus tahun tapi hidup sebagai bangsa inlander, bangsa yang disebutkan oleh Soekarno sebagai bangsa yang lemah dan terjajah. Mungkin saja, terjajah oleh internet.

Musuh yang sesungguhnya pasca kemerdekaan adalah bangsa sendiri, bukan bangsa asing. Generasi millenial harus menjadi subjek terhadap perubahan itu sendiri, bukan objek perubahan. Karena jika tidak, tanpa disadari generasi ini hanya menjadi pengguna yang terlena dengan arus digitalisasi. Suatu saat nanti, kita hanya menjadi penonton selayaknya penonton sepak bola  berjersey  yang sedang duduk di  tribun stadion, kemudian mengolok – olok pemain di lapangan karena tidak becus bermain bola, akan tetapi sesungguhnya kita adalah pemain tersebut.

Sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia, tujuh puluh tahun adalah usia relatif  masih muda menjalankan demokrasi. Apalagi pasca keruntuhan orde baru, yang membuat semuanya serba terbuka, tidak ada lagi pembatasan pendapat dan media. Hal tersebut menjadikan kita berlebihan menanggapi kebebasan. Sebagai pemuda yang berada di peradaban internet dan media sosial yang merajarela dan menghabisi waktu permainan, lalu pertanyaan selanjutnya adalah apakah kebebasan dan kenyamanan yang telah diperoleh ini akan berkontribusi untuk perubahan.

Paling sedikit, kita bisa merasakan keresahan atas zona nyaman atas ini. Bila kita berpikir bahwa ada memang tidak ada bagian yang ideal dari suatu negara. Tidak ada sesuatu yang sempurna dalam tatanan negara bahwa ketidakadilan pasti ada, ketidakberbihakan terhadap kaum miskin pasti ada. Semuanya benar.

Kita perlu disadari, kemerdekaan memang bukan menjadi jalan akhir dari sebuah perjuangan. Namun adalah jalan pembuka bagi setiap orang dalam tatanan masyarakat untuk bisa menentukan nasibnya sendiri, tanpa ketergantungan bangsa lain. Dengan kata lain, kita adalah bagian dari sebuah perlawanan atas kenyamanan teknologi, internet dan media sosial. Karena tanpa disadari atau tidak, peradaban ini membuat generasi ini menjadi sangat angkuh terhadap perubahan.


Di akhir tulisan ini, saya hanya ingin menggugat kenyamanan generasi millenial, generasi yang dilahirkan di tempat tidur empuk, yaitu teknologi. Generasi yang ditemani oleh gadget ketika bangun pagi sampai tidur kembali. Indonesia memanggil kita dengan nama ‘perubahan’ lalu pantaskah kita berdiam diri asyik dengan gadget. Usia kemerdekaan yang ketujuhpuluh tahun tidak akan berarti apa – apa jika kita merayakan dengan rutinitas, dengan berdiam diri sembari menikmati gadget, dan memposting “Dirgahayu Indonesia ke 70 tahun”

You Might Also Like

1 comment:

  1. Paling sebel kalo generasi y / milenial di cap buruk di mata masyarakat..
    pasti langsung sensi gw hahahahaha..
    sekalian tanya donk temans2, kira investasi untuk milenial ini cocok ga ya buat kita2 kaum milenial? (sorry link aktif, bukan endorse atau gimana, cuma nanya pendapatnya rekomen apa ga)
    jenis investasi untuk generasi milenial

    ReplyDelete