22.57

Wednesday, February 11, 2015 Standy Christianto 0 Comments

Dua puluh dua lewat lima puluh tujuh, waktu menunjukan di samping kanan bawah sudut layar laptop. Di waktu ini juga saya harus berterimakasih dengan segala yang mulai menunjukan titik terang, bahwa benar garis adalah kumpulan dari titik-titik. Artinya tidak ada kebetulan. Bahwa memang semuanya bersimpul.

Di pinggir kasur dan segelas teh, aku kembali melihat bahwa bagian penting dari sebuah pilihan adalah konsistensi. Tidak ada yang instan. Apalagi dalam sebuah perjalanan yang panjang.  Keputusanlah yang membuat kita bergerak. Dan keputusan atas kemerdekaan memilihlah, setiap manusia disebut manusia.

Begitu indahnya melihat Merbabu dan Merapi saling beradu keanguhan saat pagi menjelang. Dari sini, aku pun perlu melihat ada dunia yang begitu luas dan kompleks. Yang tidak bisa dinilai dari layar peramban digital yang penuh sesak dengan ocehan miring, nyinyiran, dan negatif tentang apapun. Semua orang di layar seolah berhak dan berlagak menjadi dewa yang boleh mengomentari apa pun.

Alam yang sumpek, air yang keruh, tanah yang diperebutkan, akan menjadi dunia yang membosankan dan menjemukan bagi mereka yang sedang mencari jalan keluar dari pertanyaan-pertanyaan yang belum ada jawabannya.

Di tengah bumi yang sumpek, bagian yang hilang dalam peradaban ini adalah orang-orang yang memilih diam dari kepenatan. Mereka adalah orang-orang yang memilih bergumul dengan dirinya, keadaannya, pikirannnya, dan kemampuan dalam belajar untuk beradaptasi tentang semuanya itu.

Malam semakin larut dengan sunyinya, dan obrolan tidak jelas para politisi di televisi. Dunia yang sumpek juga semakin tidak jelas dari suguhan acara televisi. Dimana acara yang sungguh-sungguh menghibur ? jika semua bicara tentang ocehan tidak ada yang baik. Dimana sains untuk mengisi ilmu pengetahuan. Dimana olahraga untuk kesehatan. Dimana acara yang sungguhan menghibur?

Segelas teh tawar rupanya tidak bisa juga menetralkan racun di dalam kepala. Segelas teh tawar hanya mampu menemani malam yang makin larut dengan pikiran yang melayang, dan imajinasi kotor tentang kepenatan dan kejenuhan atas kemunafikan manusia.

Suatu saat nanti, ketika bumi sudah menunjukan tanda-tanda kelemahannya, mungkin manusia akan kembali tenang. Kembali ke baraknya masing-masing. Kemudian mulai mencari kesalahan dalam dirinya. Apa yang salah. Apa yang benar.

Kemudian manusia mulai berpikir berurutan dengan alur mundur. Bahwa segala yang terkait, akan selalu bersimpul. Segala pilihan atas memilih adalah keagungan manusia. Memilih secara bebas adalah salah satu ciri manusia, selain bernapas, tumbuh, makan, dan berkembangbiak.

Titik tidak terjadi begitu saja menjadi garis. Garis adalah kumpulan titik-titik. Suatu saat, aku harus berterimakasih dengan Merbabu dan Merapi, segelas teh tawar, dan laptop. karena dalam diamnya, mereka mau menunggu sampai mengantuk. Daripada ditemani oleh mereka-mereka yang berisik menyebarkan energi negatif, yang membuat mimpi buruk.
Magelang, 11 Februari 2015






You Might Also Like

0 komentar: