Kerinduan,

Sunday, September 15, 2013 Standy Christianto 1 Comments

"Puncak rindu yang paling dahsyat tuh 
ketika dua orang tak saling sms/BBM/telepon, 
tapi diam-diam saling mendoakan."
 - Sudjiwo Tedjo

Dalam sebuah filsafat kerinduan di satu bab, Buku Manusia Pengembara : Refleksi Filosofis Tentang Manusia. Dua pribadi yang saling merindu adalah satu. KAU dan AKU memiliki arti filosofi yang mendalam. K-A-U dan A-K-U memiliki huruf sama namun berbeda dalam letak tempat. KAU dan AKU tidak bisa dipisahkan, huruf – huruf itu menjadikan kepribadian saling bertautan dan berelasi.

Penulisnya, Fransiskus Borgias M, mengutip manusia menurut Martin Buber, no man is an island. Realitasnya, tidak ada manusia yang terisolasi dari relasi. Yang khas dari relasi AKU-KAU berlangsung antar subjektif yang sadar dan otonom. Martin Buber menyebutkan ada dua orang sedang saling menyapa dalam dirinya masing – masing. Relasi saling menyapa ini membuat dialognya sendiri. Manusia akan bergumam dalam hati.

Rindu lahir dengan otonom. Utamanya, Karena AKU adalah subjek kerinduan sendiri. ke-AKU-an yang menyerah dalam keheningan. Ia jujur dalam ketidaktahuan. Buktinya, seorang akan keluar mencari dirinya yang lain karena merasakan kekurangan, kehilangan dan ketidakpenuhan di dalam dirinya sendiri.

Sayangnya, rindu telah mengalami devaluasi makna. Lahir dari lagu pop masa kini. Industri filim ikutan mereduksi agar laku dijual. Rindu menjadi penuh beribu syarat. Padahal kerinduan tidak lahir dari “rindu untuk, rindu karena, rindu agar,”. Kerinduan tidak memiliki alasan.

Kerinduan yang saya pahami dari bab di buku itu, sangat misterius. Tidak menjelaskan secara rinci. Satu-satunya yang saya pahami : ada relasi AKU-KAU. Kemudian AKU-KAU berdialog dalam keheningannya sendiri.

Kemudian, masih di buku itu juga, kerinduan antara dua manusia tidak juga lebih baik dari kerinduan manusia pada hal yang transenden. Dalam sebuah pencariannya, seseorang bermazmur dalam sebuah syair bait,

Seperti rusa yang merindukan aliran air, begitu juga jiwaku merindukan Engkau Tuhan,”

Sembari membaca buku Karen Amstrong, “awal sejarah Tuhan”, rupanya perjalanan onggokan manusia mencari keberadaan penciptaannnya sudah dimulai dari zaman aksial. Dahulu manusia begitu penuh kerendahan mencari Tuhan, tanpa tendensius untuk keperluan pribadinya. Puisi ini merupakan brahmodya.

“siapakah yang tahu dan siapakah yang bisa memastikan, kapan dia dilahirkan dan kapan datangnya ciptaan ini?
Dewa-dewa lebih dahulu daripada penciptaan ini. Siapa yang tahu kapan dia pertama kali mewujud?Dia, asal usul pertama ciptaan ini, entah dia yang membentuk atau tidak,
Mata siapa yang mengawasi dunia ini dari langit tertinggi, dialah yang paling mengetahuinya – atau barangkali dia tidak tahu”

Brahmodya semacam ritual dalam keheningan guna mencari  jawaban atas kemisteriusan. Sang rishi (seorang bijak) mengajukan pertanyaan yang tidak terpahamkan, hingga akhirnya baik dia maupun pendengarnya juga terdiam dalam ketidaktahuan.

Hampir mirip dengan ketidakpenuhan karena merindu. Ada seorang manusia yang mencari jawaban atas ketidaktahuan dalam dirinya. Dalam kerinduannya, manusia  juga menyerah dalam ketidaktahuan.


You Might Also Like

1 comment: