Perjalanan,

Monday, December 30, 2013 Standy Christianto 1 Comments

Labirin duka selimuti gedung lusuh kota. Aku mencari realitas yang benar – benar terjadi. Tertunduk mencari siapa tahu tercecer di jalan. Cibiran demi cibiran tergaung pelan. Detik demi detik berada dalam jam dinding yang tergantung. Aku di stasiun kota. Disanalah aku diantar dan gemetar. Menuju kereta yang membawa pergi dengan mimpi.

Aku tidak peduli. Dengan gagah berani, duduk di bangku paling pojok. Keasyikan dalam lamunan mengantar lirih. Kemana aku pergi tidak ada yang tahu. Lagipula siapa yang mau tahu. Dari pigura jendela bumi terlihat angkuh. Kering kerontang dengan tanah yang pecah -pecah. Haus akan air hujan. Yang setiap kali dihujat oleh orang yang rapi. Tapi hujan begitu  dirindukan oleh mereka. Dan mungkin aku.

Aku perhatikan. Ada orang yang tertawa kecil, asyik dengan yang lain. Aku masih saja diam. Menikmati perjalanan demi perjalanan. Sesekali aku terdiam, sengaja untuk perhatikan jalanan. Ada orang yang lalu lalang. Kasihan. Mungkin sedang mencari jalan keluar dengan motor berkecepatan tinggi, dengan muka yang tergesa. Berlari dengan sekuat hati. Berlari kencang setengah mati. Memaksa diri demi apa yang dicari. Memaksa diri untuk terus menerus menghakimi diri. Mungkin aku juga demikian.

Aku setengah berdiri. Lalu merunduk. Mencari barang yang baru saja jatuh. Aku meraba lantai kereta. Gelisah tidak tentu arah. Terus menerus mencari arah yang pasti. Dimana barang yang dicari. Hei, ada yang mencuri. Siapakah. Aku malah ketakutan. Kalau hilang tidak terganti. Aku akan menyesal seumur hidup. Dimanakah. Aku limbung selimbungnya. Hei, pencuri sialan. Dimanakah. Siapakah yang mau mengaku. Semua diam. Dan aku tertunduk malu. Dunia ini penuh dengan pencuri. Aku yang tidak ahli menjaga barang.

Matahari turun dengan perlahan. Warnanya kemerahan agak kekuningan. Aku nikmati ketenangan sendirian. Begitu indah. Hidup untuk dinikmati seperti ini. Tanpa tendesius apa pun. Dengan segala kerendahan, bunuh segala angkuh. Kepala diletakan di lengan. Mata perhatikan jendela. Meresapi udara lewati ventilasi dengan sepoi. Fiuhhh.. begitu melegakan. Menarik napas dalam, seharusnya hidup seperti ini.

Aku sendirian terbunuh sepi. Yang lain tertidur pulas. Aku mencari teman.  Aku ragu dan takut, tidak terbiasa dengan orang asing. Ada wanita duduk terpojok sendiri. Ia sedang menikmati lagu dan terlihat sedih. Ada apa, kataku dalam hati. Dunia begitu indah. Mengapa sedih. Ia tersakiti. Ia terluka terlalu dalam.

Ia terlihat asyik dengan cerita. Aku menikmati tiap jengkal tawa. Ia bicara dengan meledak – ledak. Sesekali angguh, menunjukan kalau semua wanita tidak pantas disakiti. Aku setuju. Aku terdiam. Asik dengan cerita. Sesekali, aku timpali. Mengapa ada wanita seperti ini. Tawanya begitu menyejukan. Candanya membumi. Pikirannya tak kenal batas. Sembari kereta jalan, tak sadar aku mengaguminya.

Aku ajari nikmati senja di pigura jendela. Senja soal kebebasan, tak tergantung apa pun. Hari – hari untuk dinikmati bukan untuk disakiti. Pelarian tidak pernah habis. Hidup dengan tujuan dan mimpilah yang kekal. Jangan gentar, tidak ada yang bisa sakiti lagi. Ia tampak bersemangat. Ia bisa nikmati hidup. Ia bisa nikmati hari lagi. Mimpinya kembali.

Aku senang. Ia sudah bisa berlari kencang. Tapi Ia bilang mau pergi. Aku kuatir ia tidak kembali. Ia bilang mau kejar mimpi. Baiklah, aku setuju.

Bangunlah mimpi setinggi-tingginya. Mimpilah yang kekal. Kejarlah bahagianya. Manusia mencari bahagia. Kereta adalah perjalanan kebahagiaan. Persetan dengan tujuan akhir stasiun. Perjalanan yang nyata. Tujuan seringkali salah. Carilah perjalanannya, kataku. Semesta akan menjagamu. 

Aku melihatnya berdiri, tinggalkan tempat duduk. Aku melihatnya dengan lirih. Aku bersembunyi dengan muka tenang. Karena mukanya antusias. Aku senang. Tapi ia mau pergi. Tidak apa – apa. Aku sudah cukup senang.

Ia berhenti di stasiun terdekat. Aku melihatnya turun. Aku tidak bisa menahannya pergi. Ia melambaikan tangan. Aku lambaikan tangan juga. Aku melihatnya pergi. Aku mengagumi perlahan dari jauh. Sedikit demi sedikit tubuhnya hilang dari jendela. 

Ah, aku sendiri lagi. menikmati perjalanan. Kereta berisik, mengganggu perjalanan. Orang – orang tidak lagi menarik. Sampah berserakan. Botol bekas minuman dibuang sembarangan. Aku tendang sekerasnya. Aku kesal. Aku salah langkah. Aku tidak cekatan. Bodohnya. Aku dibunuh mimpi yang aku ajari sendiri. Aku ditinggal mati kesepian. Aku dibiarkan membunuh sepi sendiri.

Manusia punya cara masing – masing untuk mengakui keberadaan. Bagiku, ia masih ada dan terjaga itu cukup.

Aku mencoba menenangkan diri. Setenang mendengarkan lagu setengah volume. Melihat sesekali ke jendela. Tanaman hijau meredakan letih. Pematang sawah membuat pola asik. Aku terdiam. Merenung. Aku sedang menikmati perjalanan. Aku pikir suatu saat apapun akan kembali termasuk ketenangan yang sudah lama pergi. Aku layak berterimakasih pernah menemani perjalanan yg membosankan.

Kereta akan kembali ke jalurnya.  Aku menikmati sendiri lagi. Di atas rel yang bergejolak. Di tempat duduk yang dulu juga sendiri. Mengapa aku linglung. Toh tiap hari juga sendiri. perjalanan yang kadang angkuh. Mencari jalannya sendiri. Sudah dipenghujung jalan. Aku masih menatap lirih. Membangun jalan sendiri. Menikmati stasiun yang sebentar lagi aku akan turun. Tinggal di kota yang mencari mimpi juga. Aku belajar menjadi aku.  

311213. Di kamar..

1 komentar:

Before Sunset dan Sunrise : Tanggapan untuk Dian,

Friday, December 27, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Dian, film ini sadis.
Aku tidak melewatkan obrolan antar kedua orang yang sedang menikmati pertemuan mereka. Film yang dibuat 1995, 9 tahun setelahnya dibuat sekuelnya di 2004 ini, masih relevan untuk ditonton. aku sangka ini semacam film romantis korea, yang mengaduk perasaan dan  membunuh logika berpikir. 

Aku mulai mengikuti pertemuan yang tidak sengaja di kereta antara Jesse dan Celine. Mereka asik mengobrol dari hal yang paling sederhana sampai rumit. Mulai dari darimana mereka berasal, sampai mau kemana ia pergi. Keduanya asik membahas yang mereka suka. Dari asal yang berbeda, tapi seolah sudah lama bertemu. 

Dian, kamu benar.
Seperti berada dalam kereta yang sedang melaju, saat kita ngobrol dengan orang yang cocok, mau berapa pun jauhnya kereta melaju kita tidak akan bosan. Entah apa pun yang diperbincangkan, kita selalu menikmati setiap kata yang keluar. Kita menangkap kata demi kata seperti hipnotis tanpa ampun. Tak terpejam, apalagi diselingi tawa kecil. Kita tidak merasa menjadi manusia aneh karena ada banyak kesamaan dari tiap cerita.

Dian, tahukah kamu?
kalau film ini kisah nyata dari sang sutradara, Richard Linklater mengalami “Magical Moment”. Ia bertemu dengan Amy sehari, dan menghabiskan waktu bersama sembari mengobrol dan jalan-jalan mengelilingi Philadelphia. Kemudian bertahun- tahun mereka tidak pernah bertemu lagi. Naasnya, Setelah sutradara membuat Film Before Sunrise, ia mendapatkan kabar kalau Amy telah meninggal karena kecelakaan. Di tahun 2013, Before Midnight sengaja dirilis untuk mengenang Amy. Pantas ceritanya begitu legit.


Mungkin tiap orang sama saja. Dengan segala pikiranku. Menyukai hal – hal yang tidak banyak orang suka. Seperti robot curiosty, yang dikirim ke Mars, mencari tanda- tanda kehidupan di sana. Aku suka mengobrol dengan banyak orang demi mencari teman berpikir. Suka mencoba menerjemahkan pikiran orang, berusaha mencari apa yang mereka suka dan aku suka juga. Tidak banyak yang bisa aku imbangi. Entah aku yang terlalu “jongkok” berpikir, atau aku yang terlalu tinggi.

Dian, aku setuju dengan permintaan Jesse kepada Celine.
Ia memintanya untuk menemani satu hari saja  di Viena, Austria, daripada ia harus mati kesepian dengan kopi hitam dan buku-bukunya demi menunggu pesawatnya. Jesse sungguh beruntung, ia bisa mengobrol dengan celine berjam-jam. Jalan – jalan yang tidak tentu arah, karena memang arah yang jelas kadang malah membuat takut dan membingungkan. Lebih baik tidak tahu arah jalan, tapi ada yang menemani.

Dian, aku suka film karena pesannya.
Aku suka film genre drama (tidak harus romantis) tapi membuat berpikir tentang pesan yang terkandung. Sartre, seorang pemikir eksistensialis, yakin setiap orang adalah egois, yang berdiri sendiri. Kehadiran setiap orang tidak boleh meniadakan sisi lain dari orang itu. Suatu saat, setiap orang akan bertemu dengan ‘bagian dari dirinya’. Artinya, dia akan bertemu dengan dirinya di dalam diri orang lain. Aku mengikuti tiap menit dari film ini, apakah pesan itu yang dimaksud?

Dian, Before Sunset (2004) lebih romantis.
Di sekuel ini, karakter Jesse dan Coline lebih dewasa, tidak kekanak-kanakan waktu pertama kali bertemu. Di sekuel pertama kebanyakan sentuhan fisik. Romantis telah direduksi oleh film-film memuakkan. Selalu menonjolkan rayuan dan cumbuan. Otak penonton diracuni oleh birahi.

Disini jesse dan coline sangat romantis. Mereka mengobrol dengan minum kopi, berjalan – jalan di Paris, menikmati senja di dek kapal. Romantisme dibangun dari tawa kecil dan obrolan yang nyambung.

Romantisme itu seperti sepasang kakek dan nenek renta yang berjualan angkringan untuk menghidupi mereka, menunggu pelanggan sembari bersenda gurau dan  mengobrol  sampai pagi.  Apalah yang bisa dilakukan kelak tubuh melemah, selain  mengobrol sampai mati.

Dian, aku tidak suka film dengan konflik darah dan senjata.
Obrolan antara Jesse dan Coline tidak banyak konflik, satu-satunya konflik adalah penyesalan. Kenangan satu hari di Viena masih diingat sampai 9 tahun kemudian saat mereka bertemu di Paris. Benar kata Celine, “Kenangan adalah sesuatu yang indah jika kamu tidak harus berurusan dengan masa lalu,”. Mereka menyesal tidak lagi bisa bersama. Karena punya pilihannya masing-masing. Tapi masih bisa mengobrol. Aku tidak terlalu suka dengan film yang sad ending.  Film ini dibuat menggantung. Diakhir cerita, mereka tidak pernah bersama. Hanya ngobrol ngalor ngidul. Menyedihkan.

Dian, suatu hari  tiap orang mungkin akan mengalaminya.
Aku kutip tulisanmu, ”waktu kita ngobrol aku merasa seperti membaca buku di kereta. Bikin aku betah. Ini lebih menyenangkan ketimbang mendengarkan adu mulut acara berita di televisi”



***

0 komentar:

Lahir,

Monday, December 23, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Akhirnya sampai juga dengan raut muka yang suatu saat akan banyak kerutan. Dengan otot yang suatu saat akan melemah. Dengan segala daya yang akan juga tidak sekuat ini. Mungkin hari ini akan menjadi biasa saja. Mungkin usia yang telah berlalu akan menjadi kesialan. Akhirnya sampai juga dengan mimpi yang tidak kunjung selesai.

Hari ini adalah hari lahir, benarkah ? lalu apa yang telah kamu perbuat?

Soekarno di umur seperti kamu telah membuat partai dan menggertak para penjajah. Bill Gates dalam umurmu yang sekarang telah memulai Microsoftnya. Einstein di umurmu saat ini telah yakin atas atas pilihannya menjadi seorang peneliti. Soe-hok gie diumurnya yang sekarang hidup dalam ketidakmapanan demi sebuah perjuangan.

Tiap orang punya jalannya. Kemudian pertanyaan yang selalu mneggelitik, saya sebanarnya dilahirkan jadi apa? Saya tidak pernah minta dilahirkan. Juga tidak pernah mendapat jawaban dengan segala pertanyaannya. Kemudian benarkah saya benar- benar hidup?

Hari ini adalah hari baik  bagi yang telah dilahirkan. Ada dua hal, katanya. Pernyataan pertama, karena di tanggal ini ada seonggok manusia berhasil dilahirkan, dengan segala susah payah, dengan sekuat keinginan, dengan komitmen pernikahan yang teguh, dan segala proses adaptasi dari mahluk hidup untuk bertahan hidup.

Kemudian hal lain, pertanyaan mengapa saya dilahirkan terus menjadi pertanyaan. Katanya, jika ada orang yang menjawab ini adalah manusia yang seutuhnya. Dan ...

Dengan segala mata yang terus mencari jawaban. Dengan segala ambisi manusiawi yang terus dikejar. Dengan segala pemakluman maaf. Dengan segala kekurangan.

Di tengah – tengah jalan persimpangan. Ada pertanyaan, apakah ada orang lain yang juga bertanya ? atau lebih sering pergi menghabiskan waktu dengan pesta pora. Berarti saya sendirian?

Dengan tarikan nafas panjang. Dengan otak yang semakin melemah. Dengan tangan yang juga lelah. Segala sesuatu yang telah lewat. Segala sesuatu yang telah dinikmati. Tidak ada salahnya berterimakasih untuk Tuhan dan semesta yang telah menyiapkan sampai saat ini.  






0 komentar:

Tentang Blog Ini,

Sunday, December 22, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Menulis adalah semacam terapi saat diam tidak lagi memulihkan. Maka “alienasi dari trasendensi” adalah yang tepat. Alienasi dan trandensi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Setiap bangun pagi, atau malam sebelum tidur, saya selalu punya cara untuk mencoba memahami segalanya, entah kemudian bertanya kemudian lupa atau terus bertanya kemudian menjawab sendiri. Pernah juga merasa terasing dalam hiruk pikuk, atau juga merasa ramai sesak. Entah dengan buku-buku, atau orang disekeliling.

Manusia akan mengalami alienasi. Kata Marx, manusia akan terdesak karena dituntut karena paksaan ekonomi, kemudian hanyut teralienasi. Merasa terasing. Dalam tekanan manusia hanya bisa mengadu kepada hal trasendensi yang menjadi candu. Karena agama hanya menawarkan pil manis, namun tidak realistis. Katanya, manusia dibodohi oleh itu. Saya bukan penganut marx, juga tidak pernah membaca sampai selesai seluruh karyanya.

Saya membuat ini, tidak juga bermaksud melemah dengan rintihan pilu. BUkan juga menyebarkan agama yang memuakan itu. Biarkan ruang ini menjadi ruang refleksi. Bukan pelarian dari kemunafikan atau jadi tempat mengadu kepada hal transenden. Ini juga bisa ruang gugatan terhadap berbagai hal. Hal yang tidak terpahamkan.

Kemudian tulisan ini menyaru kuat dalam dominasi warna putih, yang menurut saya, putih adalah bentuk apa adanya. Tanpa tendesius apa pun.

Tentu ruang ini bukan kitab suci yang tidak boleh digugat. Atau akan dibela sampai mati. Bisa ditafsirkan semaunya pembaca. Ada ruang kritik di kolom komentar. Ruangan ini sifatnya permisif, karena bisa saja karena keteledoran asal comot metodologi berpikir, yang malah mengaburkan pandangan. Atau kabur dalam sok-sokan berfilsafat.

Kembali ke alienasi dan trandensi. Pertanyaan tidak selalu menemukan jawaban. Dalam puisi Brahmoedya, di zaman aksial. Pencarian atas jawaban sudah dimulai dari jaman mula-mula saat agama belum lahir. 

“siapakah yang tahu dan siapakah yang bisa memastikan, kapan dia dilahirkan dan kapan datangnya ciptaan ini?
Dewa-dewa lebih dahulu daripada penciptaan ini. Siapa yang tahu kapan dia pertama kali mewujud?
Dia, asal usul pertama ciptaan ini, entah dia yang membentuk atau tidak,
Mata siapa yang mengawasi dunia ini dari langit tertinggi, dialah yang paling mengetahuinya – atau barangkali dia tidak tahu”

Seorang yang tidak bijak akan terus bertanya, laiknya Socrates yang hidupnya bertanya. Menyadari dirinya tidak bijak karena ia tahu ia tidak bijak. "I know one thing : I know nothing". Mungkin pertanyaan tidak akan terjawab. Namun proses itu yang akan menjadi inti. Justru yang tidak terpahamkan akan selalu menarik. Seperti proses mencari kebenaran,  perdebatan itu terus menerus. Menggumuli  adalah kesenangan. Terus bertanya dalam keterasingan adalah kebiasaan.

Kemudian, proses berpikir akan seperti ombak, gulungan yang baru akan meniduri yang lama. Justru ini akan mengasyikan. Ini adalah rekaman dari segala proses itu, yang suatu hari mungkin hanya akan menjadi sampah kenangan.


Demi segala kerendahan manusia yang selalu ingin tahu, saya perlu ruangan persis saat duduk di  atas kloset, terus berpikir dan berpikir, bertanya dan terus bertanya, saya ingin punya rekaman atas pertanyaan itu. 



0 komentar:

Pencari,

Sunday, December 22, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Katak dalam tempurung akhirnya terlepas. Ia bebas. Sebelumnya, ia sulit melompat lebih tinggi karena mentok. akhirnya juga ia bebas. Dengan segala kebebasan yang dimilikinya. Ia tampak bingung. Kemanakah jalannya arah pasti.

Dulu punya banyak keharusan dan kewajiban, sekarang tidak lagi. Mungkin menyedihkan. 

Masih tetap disini. Keadaaan yang tersudut dalam sudut kamar. Menjadi pencarian sendiri. Aku terkurung dalam mimpi dan insting. Juga meleleh dalam iri, mereka akan kembali dan saya terkurung sendiri.

Kemudian dalam ruangan pribadi. Kembali bertanya tentang ambisi, dimanakah tempat yang lebih baik, selain jadi hidup miskin dan tidak lagi dihargai. Terlebih, nanti ada irisan rindu tentang kenangan masa dulu. Ah, dimana nanti kalian?

Mungkin bagian terpenting adalah ini. Kembali meratapi jalan sembari waspada dengan lubang  agar tidak terantuk. Ada cara yang lain kah, dari menunduk sembari menuju jalan yang pasti.


Hei, dimanakah kalian para pencari. Tidakkah kalian juga sendiri. Tidak bisakah kita saling berkoalisi. Atau jangan – jangan cuma aku sendiri. Arrrhhh!

0 komentar:

Ungkap,

Thursday, December 19, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Kejujuran yang terungkap lebih baik dari pada rayuan yang membohongi.

Saya percaya kejujuran tentang perasaan memberi arti penting dari keberadaan. Kejujuran yang tidak sengaja terungkap adalah lebih baik dari pada mengendap. Adalah baik bagi seorang manusia punya perasaan terus menerus ditunjukan agar dirinya merasa lebih baik. Karena ia sedang berdamai dengan dirinya sendiri. 
Rayuan hanya kebohongan omong kosong. Rayuan hanya akan membawa sesat. Bedil tanpa peluru. Rayuan adalah bualan kampungan yang tidak pernah laku dijual. Rayuan adalah kejatuhan bagi perasaan. Begitu meracuni. 


0 komentar:

#10

Wednesday, December 18, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Kemana pun kita pergi, raga dan rasa tidak pernah kabur. Serasa dalam asa, seperti pintu yang terbuka lebar untuk yang mau pulang. Kita pernah bercerita, rumah adalah tempat yang paling tenang. Aku merasa terasing dalam di ruang lain. Aku mengintip lubang kunci dari dalam rumah. Betapa memuakannya sesuatu di luar sana. Tapi rumah dan segala isinya yang akan membentuk kita seperti ini bukan ? tentu dengan segala kekurangannya.

Kamu pernah bilang, kamar adalah otoritas terbaik yang pernah dimiliki. Kamu pernah bilang tidak ada tempat terbaik di dunia selain disana, walau kamu tidak bisa pernah bisa tidur sendiri. Disana juga pernah berdebat soal malam yang terlalu larut tidak baik untuk tubuh yang ringkih. Tapi kita selalu larut dalam perbincangan ngalor ngidul. Kelarutan yang dibuat sendiri.

Ya, kita tidak pernah konsisten dengan apapun. Begitu juga soal malam dan pagi. entah apakah memang tidak sadar malam dan pagi telah berbeda. Jika kita mulai pembicaraan kita lupa yang mana malam dan yang mana pagi.

Aku sering kali berfilsafat, tentang Tuhan (atau dengan huruf kecil), aku pikir dunia perlu Tuhan/tuhan dalam bentuk apa pun.  Ada ruang yang perlu dibuktikan dalam skeptisnya otak kita. Ada ruang kosong. Kita harus adil. Kalau manusia boleh kritis dengan penciptaan. Kita juga perlu memberi ruang pada pembuktian. Kalau Pencipta memang ada, Ia akan memberikan bukti. Aku sedang tidak menalar Tuhan/tuhan, tetapi memberikan keadilan bagi semuanya. Tapi kamu lebih suka dengan semesta, baiklah aku mengerti. Pola dari alam memang menarik, tidak bisa ditebak.

Asalkan bukan arogansi. Masih ada celah. Arogansi hanya milik penguasa yang ingin berkuasa, bukan? bagi mereka rasionalisasi selalu kalah dengan arogansi. Toh, kita tidak pernah saling menguasai. Kamu ingat dengan perbincangan pikiran picik dari politik. Kapan kita bisa berbincang lagi?

Mungkin kamu muak dengan ini, aku selalu takut kamu muak. Aku selalu tidak suka dengan rautmu yang muak, atau sinisnya sorotmu. Aku tidak terbiasa, mungkin aku dimanja dengan citra baik lawan bicara sejak kecil. Aku dilarang bicara dengan muka muak atau apa pun agar tidak dibalas dengan respon negatif. Sejak itulah, aku selalu merasa baik-baik saja dan menahan amarah. Kamu lebih baik rupanya, lebih suka jujur. Mungkin aku harus terbiasa dengan luapan.

Malam juga terlalu larut dan waktu terlalu sempit untuk dengarkan kita bicara. Operator selular juga sepertinya sering kali berhasil memutus jaringan. Tapi bukankah ada segala cara untuk saling memberitahu. Mungkin sudah membosankan ya. Atau kita terlalu takut dan gengsi. Takut untuk memulai. Gengsi kalau tidak digubris.

Aku punya kajian menarik. Bagaimana jika kita mengkaji ulang dengan segala yang berlalu. Aku terlalu kaku dengan kata menunggu. 

Entahlah. Aku tidak pernah sadar dijadikan sebagai laki-laki. Terlalu merasio bagi seorang perempuan. Dan kamu lebih dari sekedar perempuan biasa. Menurutku, kamu bukan seorang feminis. Kamu dalam pergulatan atas dirimu bukan dengan perbedaan kelas, atau persamaan hak. Dan aku juga bukan seorang marxis. Tidak terlalu suka dengan revolusi sehari. Aku tidak punya ideologi apapun soal itu. Aku selalu menyerah dalam perasaan. Mungkin aku yang terlalu berperasaan. Atau mungkin aku mengagungkan rekonsiliasi dari pada soal konfrontasi.

Kembali kepada pulang. Kapan kita menyerah lalu balik arah?



0 komentar:

Hujatan,

Wednesday, December 18, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Akhirnya simbol kemunafikan itu sudah kukenakan. Tidak enak ternyata. Aku malah jadi takut melangkah. Katanya nanti dunia tidak akan kenal lagi kata ‘salah’.  Katanya, ‘salah’ cuma ada di ruang kuliah. Makanya  aku berjalan gontai di podium saat mengambil ijazah.

Kalian semua yang telah mengenakan toga, simbol kemunafikan itu. Seperti kerbau dicocok hidungnya. Mau saja menikmati perhelatan besar yang terlalu banyak basa basi. Mereka bilang ini adalah kebanggaan. Tapi mereka biarkan gedung itu dibangun dari hasil memaki. Memaki kami yang dulu minta transparansi.

Kalian yang di depan sana, bangga dengan jubah hitam tergerai panjang. Untung saja,  Plato sudah lama mati, kalau tidak ia akan malu kalau sekolah hanya dijadikan juru tulis laporan bukan keinginannya yang dulu.  Untung saja, kuliah dadat memberikan penghasilan bagi tukang fotocopy yang barangkali juga tidak pernah mengenyam sarjana.

Ini sebuah hujatan dari sarjana baru yang lulus 5 tahun 4 bulan. Lulus dengan hasil sangat memuaskan. Yang tidak pernah juga terpuaskan dengan tuntutan. Yang mencari celah biar dapat pembelaan karena terlalu lama juga bermain dengan materi. Yang tidak terlalu suka dengan peraturan yang terlalu panjang.

Ini sebuah hujatan dari seorang mahasiswa yang malas belajar karena sibuk urusi dirinya sendiri. tentu bukan sibuk urusan organisasi

Ini sebuah hujatan dari seorang anak yang tidak tahu diri. Sudah banyak duit yang mengalir tapi tidak tahu terimas kasih. Ini hujatan dari seorang anak terlalu banyak alasan tentang tugas akhirnya.

Ini sebuah hujatan.


Standy Christianto, S.P

0 komentar:

Syukur

Tuesday, December 17, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Aku mengucap syukur kepada Tuhanku setiap kali mengingat kamu.. 

0 komentar:

#9

Monday, December 16, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Angin semilir masuki permukaan kulit yang berkeringat. Masuk dari celah kemeja lusuh. Kemeja biru diantaranya ada  gulungan lengan. Kamu tidak terlihat letih, kawan?
Ah, letih hanya sesaat. Mimpi lah yang kekal.

Juga alur air permukaan sungai. Bergejolak dalam riak. Setenang itu air mengalun lembut di antaranya ikan - ikan menyembul tanda kehidupan. kamu terlihat bosan kawan?
Ah, apalah bosan. Besok pun bangkit lagi.

Kamu telentang leher kau letakan di bantal. Bisa dengan mudah bergerak sesuka hati. Corat coret dinding masih jadi pengingat. Ada sebagian tanda perhatian. Tanda tanda kekejaman waktu yang menguber laiknya penjahat. Kamu terlihat gentar?
Ah, kamu bisa saja. Ini hanya sebentar.
...

0 komentar:

Pergulatan Seorang Gay,

Sunday, December 15, 2013 Standy Christianto 0 Comments


Namanya Ari. Dilahirkan sebagai laki-laki. Tapi  tingkahnya feminin. Keperawakannya kurus. Ia lahir menjadi anak kedua dari 5 bersaudara. Sekilas tidak ada masalah dengan dirinya. Saya bertemu dengannya pertama kali di sebuah pelatihan pendamping HIV. Dia datang sebagai narasumber dari populasi kunci yang beresiko HIV. Pada saat itulah saya bertemu dengan seorang laki-laki yang benar – benar mengaku seorang Gay.

Pada sesi itu saya boleh bertanya apa saja. Dari hal yang berkaitan dengan materi pelatihan atau pribadi. Tapi saya lebih tertarik dengan pergulatannya sebagai seorang Gay. Pertanyaan pertama saya adalah apakah dia ingin sembuh. Maksudnya, tidak lagi menyukai sesama jenis. Pertanyaannya saya dijawab dengan lantang dan muka yang tegas. Katanya, “saya seorang homoseksual. Itu bukan penyakit”

Pertanyaan tentang hal yang pribadi, dijawab dengan sangat jelas dan tegas. Dia membuka pikiran saya tentang dunia homoseksual dan para pelaku disorientasi seksual lain. Homoseksual memiliki jaringan yang kuat di daerah – daerah sampai tingkat nasional. Di Purwokerto ada GAYa Satria, yang berkiblat pada GAYa nusantara. Ada juga Pelangi Satria yang berkiblat pada Arus pelangi. Dua-duanya adalah komunitas Gay skala nasional. Namun organisasi ini juga timbul tenggelam. Entah masih ada atau tidak, saya kurang paham.

Ari juga bilang, menjadi homoseksual bisa terjadi karena tiga hal, pertama karena habitus. Homoseksual bisa terjadi secara alami dalam sebuah lingkungan yang homogen. Saya pernah mendengar soal ini. Misalnya, di asrama yang seluruh penghuninya adalah wanita. Yang awalnya heteroseksual bisa menjadi homoseksual. 

Wanita yang tinggal bertahun - tahun akan memiliki naluri untuk menyukai  temannya. Atau misalnya di dalam penjara, hampir dipastikan bahwa mereka juga memiliki disorientasi seksual karena bertahun – tahun mereka sekamar dengan temen sejenis. Kedua, adalah traumatik. Ini yang menurut saya menyedihkan. Mereka yang menjadi homoseksual karena sakit hati.  Karena perlakuan seseorang yang melakukan pelecehan seksual dan tindakan kekerasan. Sehingga memiliki kebencian yang berlebihan pada seseorang. Korban sakit hati dari pelecehan dan kekerasan tersebut akan cenderung homoseksual. Ketiga, karena genetik. Yang dilahirkan memang karena genetik. Ari adalah homoseksual dari lahir alias berasal dari genetik.

Bagi saya, homoseksual dengan alasan pertama dan kedua masih memiliki pilihan heteroseksual. Tapi jika berasal dari genetik, mereka berhak memperjuangkan pilihan orientasi seksualnya.

***

Sekarang saya lebih sering bertemu Ari di kegiatan penanggulangan HIV. Saya tertarik cerita kehidupan Ari sebagai homoseksual. Dilahirkan menjadi seorang Gay tidaklah mudah. Perlakuan yang kasar dari keluarga sering diterimanya. Menjadi Gay adalah pilihan. Keyakinan atas pilihannya datang pada saat ia berkonsultasi tentang dirinya kepada psikolog. Psikolog ini hanya menyuruh untuk bertemu dengan orang yang kenal dia sejak kecil, orang yang mampu mengurutkan kelakuannya mulai dari bayi sampai dia besar.

Akhirnya, ia datang kepada neneknya. Neneknya bercerita kalau kelakukan ari yang unik sudah ada sejak usia tiga tahun. Sepertinya disorientasi seksualnya sudah diketahui keluarganya sejak Ari kecil. Dugaaan itu berawal dari tindakan Ayahnya yang memperlakukan dia dengan keras. Ayahnya melarang dengan tegas untuk bermain dengan adik perempuannya. Ari tidak boleh memakai kalung, atau gelang walaupun itu hanya aksesoris. Adik perempuannya dipisahkan dari Ari agar konstruksi seorang perempuan tidak ada dipikirannya.

Kejadian yang paling aneh adalah ketika Ari cemburu dengan teman masa kecilnya. Ari punya teman semasa kecil yang semuanya adalah laki-laki. Suatu hari temennya yang bernama agung, memiliki teman baru.  Ari kecil tidak terima dengan perlakuan itu, akibatnya Ari mencari teman barunya Agung  kemudian melabraknya. Kejadian seperti itu sering kita temui di acara sinetron tentang seorang pacar yang sedang cemburu.

Ari mengajari saya tentang dua hal, yaitu soal pilihan dan komitmen. Ari adalah seorang homoseksual yang idealis. Baginya pilihan manusia terhadap orientasi seksual tidak bisa diganggu gugat. Ia memilih menjadi homoseksual. Dan ia merasa nyaman dengan itu. Ari pernah bilang, Diskriminasi berawal dari agama.Karena ada justifikasi kalau kaum homoseksual tidak akan masuk surga sehingga masyarakat ikut-ikutan menjadikan bumi ini neraka buat kaum homoseksual. Ari juga menjelaskan tesisnya kalau sebenarnya Tuhan tidak melarang homoseksual. Ari mempelajari semua agama. Saya tertarik kalau Ari sudah mulai menceritakan ajaran agama yang ia ketahui disandingkan dengan argumentasinya sebagai homoseksual. Suatu kali dia bilang, Tuhan itu baik karena membuat saya menjadi homoseksual. “Orang seperti saya harus ada,” katanya. Orang yang dijustifikasi hidup ke neraka harus ada. Supaya orang lain percaya ada surga. Jleb!

Ari mengajari saya tentang komitmen. Kaum homoseksual juga selayaknya manusia yang ingin hidup dengan setia dengan orang yang dicintainya. Homoseksual memiliki kecenderungan suka berganti – ganti pasangan. Tapi ia seorang homoseksual yang setia. Ia pernah punya pacar (tentu laki-laki) dan ia setia dan tidak pernah selingkuh dengan laki-laki lain. Bahkan ia punya rencana untuk menikah dengan laki –laki juga. Berbagai kota di Indonesia sudah ia singgahi untuk mencari penghulu yang bersedia membantunya. Katanya, terserah penghulu dari agama apa pun.

Biasanya kaum homoseksual akan berkamuflase sebagai heteroseksual kemudian ia menikah dengan perempuan tapi masih berhubungan dengan teman prianya.  Ari tidak mau. Ia mau menikah dan memiliki suami yang sah. Saya jadi berandai-andi jika suatu saat saya menerima undangan pernikahan dari seorang mempelai pria dengan seorang pria. Saya geli sendiri. Terlihat lucu memang. Karena saya pikir di negara ini belum bisa menerima perkawinan sesama jenis. Waktu saya di Bangkok, saya mendengar Vietnam punya gerakan melegalkan pernikahan sesama jenis. Mereka bikin gerakan kaum homoseksual dari facebook kemudian ada 100.000 bergabung dan berkumpul  di suatu tempat untuk menuntut perkawinan sesama jenis. Apakah Ari akan menunggu seperti ini ??

Pilihan dan komitmen adalah garis lurus dari sebuah keyakinan. Saya mengambil dua hal itu dari Ari. Saya memilih tidak peduli manusia dengan orientasi seksual apa pun. Selama nilai kemanusiaannya tidak diambil oleh siapapun dan Ari juga tidak mengganggu orang, saya pikir dia berhak hidup dan dilindungi oleh negara dan manusia.

Saya menghargai Ari yang mencari keyakinannya sendiri dan memegang teguh atas pilihannya. Karena banyak yang menggadaikan pilihan dan keyakinannya karena desakan orang lain. Ari menerima dianggap gila dan keras kepala. Tapi yang tahu Ari, ya dirinya sendiri. Disamping itu ia punya komitmen yang kuat untuk menghargai pasangannya kelak. Buatnya komitmen kesetiaan adalah nilai mati atas penghargaan atas keberadaan seseorang yang dicintainya. Saya lebih melihat cintanya dari pada siapa yang dicintainya. Soalnya saya agak geli juga kalo membayangkan siapa yang dicintainya. Tapi saya belajar banyak dari Ari.

Tulisan ini saya buat setelah membaca pengakuan penulis favorit saya, Goenawan Muhammad bercerita tentang anaknya seorang Gay. Saya terenyuh dan salut dengan sorang ayah seperti GM. Semoga semua mahluk Tuhan dapat menikmati hidupnya dengan nyaman.

Tulisan Pintu Masuk Toilet di Contitent Hotel Bangkok






0 komentar:

#8

Sunday, December 15, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Sela-sela jemari di lengkung senyum. Merekah. Membumbung tinggi. Dengan segala rasa telah lama menanti. Mata berkelindan dengan  tajam. Entah siapa yang kejam. Meninggalkan bekas yang menunggu kikis. Terjebak dalam angguh. Terjebak dalam ragu.
Lagu - lagu juga memutar. Jangan berhenti, katanya. Aku ragu.
Dengan segala Nama Besar. Bersandar di lonceng gereja bergemerincing. Entah itu di tempat suci para pencari sorga atau para perempuan suci yang menjual harga diri. Sama saja.
Hei, jangan juga kamu pergi sekarang atau nanti. Mungkin saja juga sama.
Maaf aku sedang menulis. Ini bukan ringkihan atau rintihan. Bukan.

0 komentar:

Tahu,

Monday, December 09, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Kasih tidak pantas diadu.
Malaikat juga tidak usah tahu.
Biarkan cuma aku.
Lagi pula, Aku tidak sedang berlomba.
Tidak ingin juga jadi juara.


0 komentar:

Berubah,

Sunday, December 08, 2013 Standy Christianto 0 Comments

"Jika nanti aku berubah dan bukan diriku lagi, 
Tolong bawa aku pulang dengan Kasih .." 

- dari Nova Margareth. S.P - 

0 komentar:

Buku,

Friday, December 06, 2013 Standy Christianto 0 Comments



Kamu adalah buku yang tidak pernah habis kubaca ...

0 komentar:

Mati,

Friday, December 06, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Saya tidak punya tesis tentang kematian. Demi apa pun, kematian adalah suatu hal yang sulit untuk diperbincangkan. Saya juga pernah bertanya : kapan saya akan mati ? Apa yang terjadi jika saya mati? bagaimana dunia setelah kematian ? pertanyaan ini mengular panjang sampai sampai suatu hari saya temukan betapa indahnya dijemput kematian.

Saya menghargai kematian setelah pulang dari Bangkok. Disana saya berkumpul dengan beberapa orang yang divonis medis, tidak bisa hidup lebih lama, yang menjadi penyebabnya adalah virus yang mematikan yang menggerogoti sistem imun tubuhnya. Bagi seorang ODHA, kematian adalah keniscayaan.

Setelah vonis medis bukan lagi mantra sakti, lebih dari pada itu adalah ketakutan atas kematian. Mudah saja bagi mereka tinggal berhitung beberapa tahun ke depan. Ia tidak akan lagi memiliki bumi.

ODHA memiliki jaringan internasional di segala penjuru dunia. Mereka minoritas karena stigma tanda palang yang artinya positif. Ada jaringan asia pasifik, ada jaringan global, yang hampir pasti ada jaringan nasional di masing – masing negara. Mereka bisa menembus batas negara dengan mudah. Jika mereka pintar mengunakan jaringan internasional, tentu saja dengan balutan proyek dari lembaga donor.

Saya tidak mau cerita tentang proyek dan otak – otak kotor para pencari uang  proyek. Saya sedang melakukan refleksi jika saya seorang yang divonis dokter tidak lama lagi hidup. Ya, paling 10 tahun atau 15 tahun lagi.

Saya mengambil contoh, ada seorang wanita ODHA, dia pintar meloby untuk menikmati batas negara. Baginya, untuk apa lagi hidup dengan bersedih atau menyendiri. Ia bisa pergi menjelajahi belahan bumi, menikmati keliling dunia dengan gratis dari lembaga donor. Ia pintar mengambil hati. Persetan dengan materi. Ia menikmati hari. Dia tidak lagi peduli. Tidak segan mencuri. Tidak lagi segan untuk seenaknya pergi. Entah bagaimana menggambarkan orang yang merasa hidupnya sebentar lagi. Dan ia gunakan itu untuk kesenangan sendiri.

Saya mengambil contoh lagi, ada seorang pria ODHA. Ia pernah mengalami sakit hati, "Mengapa hidupku begini ?". Pertama kali ia rasakan bahwa penyesalan adalah harga mati. Kemudian protes kepada kehidupan adalah sarapan paginya sehari – hari. Umurnya tinggal sebentar lagi. Dan ia merasa sendiri. “Persetan dengan proyek ke luar negeri”, katanya. Ia memilih untuk mengajari orang seperti saya tentang virus setan yang telah mengegerogoti tubuhnya menjadi kurus ceking. Ia menyesali perbuatannya, karena tingkah lakunya yang  dulu tidak pernah suci.

Saya tambahkan lagi. Si abang ini berumur 40 tahunan. ia Bercerita tentang pacarnya yang HIV negatif kemudian ia ingin menikahinya. Saya shock. Perempuan negatif mana yang mau dengan pria positif? Tapi abang ini punya mimpi. Ia yakin bahwa ia bisa hidup saling mencintai. Dan perempuan ini juga yakin, alasan utama si abang memohon untuk menikahinya karena benar-benar mencintainya, bukan ingin menulari. Mereka sadar sedang saling mencintai.  Entah bagaimana cerita mereka selesai. Kita tidak saling mengabari.

Kematian adalah keniscayaan. Jika saya boleh memilih. Saya ingin hidup dengan kematian yang pasti. Jika kematian itu pasti, saya bisa merancang bagaimana saya harus hidup. Jika saya tahu tanggal kapan saya mati, saya lebih mudah untuk menikmati hari. Semuanya telah pasti. Dan saya bisa menyedikan waktu untuk menyiapkan sesuatu yang bisa ditinggalkan setelah saya mati.





0 komentar:

Kamar Baru,

Friday, December 06, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Hei kamarku yang baru, aku meninggalkanmu cukup lama. Seingatku, terakhir kali aku merasakan hawa dingin menusuk malam sebelum aku kumpulkan berkas pedadaran. Waktu itu aku senang sekali, sembari menyalin berkas dengan bangga, akhirnya aku bisa selesaikan kewajiban sebagai mahasiswa yang sebentar lagi akan ujian terkakhir kali dengan dosen.

Hei kamar baruku, disini tempatku menanyakan banyak  pertanyaan tentang selangkah ke depan. Aku tidak akan lupa dengan atsmosfer ini. Ketika pagi yang menusuk sampai ke tulang. Ketika tengah malam ada bebunyian diskotik menidurkanku karena kelelahan.

Hei kamar baruku, Aku tidak akan pernah lupa aku pernah mencari pertanyaan saat kebingungan, bingung menentukan langkah, ketika itu juga membaca buku dan menyeruput susu membuat kemewahan pribadi.

Kamar baruku, mungkin aku akan lama berada disini. Seperti ini akan menjadi kebiasaanku. Sudut kamar ini akan menjadi ruang kesendirianku mencari jawaban. Yang nyatanya jawaban bukanlah segala – galanya. Biarlah segala pertanyaan mengular panjang di tempat ini.

Sudut kamar ini akan lebih menarik, karena akan menjadi saksi ketergantungan soal hidup untuk setahun ke depan. Kamarku yang baru, kita akan lebih sering bertemu. Aku berjanji akan menemanimu, agar tidak kedinginan sendirian. Aku akan lebih sering setiap malam menuliskan sesuatu. Setiap malam setelah pulang dari kuliah malam oleh para perempuan suci itu, kemudian ‘berdialog’  dengan Tuhan di tempat pelacuran itu. 

Aku akan lebih sering menuliskan cerita yang menggugah rasa kemanusiaanku. Aku berjanji lebih sering menulis pelajaran yang bisa membuatku menjadi manusia yang seutuhnya.

Setiap pagi kita akan lebih dekat, dengan segelas susu beserta sepotong roti tawar yang menjadi kesukaanku. Setiap pagi yang dingin dimasuki embun di sela – sela ventilasi udara. Aku akan lebih semangat menempuh pagi. Pagi yang tidak pernah ingkar janji, sama sekali bukan pagi yang naif.

Aku akan lebih sering berpikir taktis untuk hidupku, mungkin kamar ini akan menjadi saksi perjuanganku menempuh mimpiku. Aku akan kejar negeri yang terlampau jauh disana. Aku akan kejar ilmu yang membuatku penasaran dengan dunia. Dimulai dari sini, kamarku yang baru.



0 komentar:

Apriori,

Wednesday, December 04, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Salah siapa kalau pikiran melambung jauh, bersikukuh untuk mencari hidup lebih baik. Saya terbangun dari tidur yang lama, sengaja ingin tidur lebih lama. Saya ingin lebih produktif bermimpi. Mimpi merasuki alam bawah sadar yang belum juga menyadarkan. Dimanakah ruang kenyataan?

Baru saja saya pulang dari seharian memantau realitas. Saya membuka sedikit demi sedikit celah lusuh kota. Saya menemukan detail kemunafikan dan keangguhan robot – robot di jalanan. Dimanakah ruang nyaman dari kebusukan manusia yang pintar berbohong.

Tidakkah saya selalu menyalahkan sistem yang sudah lama usang. Kemudian intelektual terjebak dalam arogansi tafsir buku – buku ekonomi. Lalu apa yang bisa diperbuat oleh kutukan dan umpatan.

Tidakkah saya seperti para pemuka agama, ahli kitab yang tidak bisa dikritisi, kemudian tidak malu mengatakan ini dan itu, sedangkan  hati bicara, "persetan dengan tingkah laku". Tidakkah nanti ada lagi orang yang ceramah soal keharmonisan keluarga tapi juga melakukan perceraian. Atau bicara soal moral tapi memakai duit umat, untuk kepentingan perut dan perut bawah.

Dalam lamunan yang telah lama juga, saya mendekati keputusasaan dari kebutuhan. Apa lagi yang dicari manusia selain persoalan agar ia tetap hidup. Hidup bukan dengan sekedar makan. Tapi bisa mencari hidup dengan tenang. Mana yang lebih baik hidup dengan tenang atau makan dengan enak.

Tidakkah saya pencari masalah dan kesalahan terbesar. Pembungkam ulung demi kepuasaan harga diri. Dimanakah harga diri diantara manusia, dinilai menang kalau bisa mengalahkan orang dengan kesalahan.

Lupakan soal pertanyaan. Lupakan soal tulisan ini juga. Lupakan ...

Saya ingin larut dengan lamunan kemudian tertidur lalu bermimpi lagi.. 




0 komentar:

Diam,

Wednesday, December 04, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Malam larut dalam hening,
pertanyaan terus menggiring,
Benarkah diam ?

Tanda tanya belum terjawab,
Atau aku yang terperangkap,
Benarkah diam ?

Hati berdecak, dan sekuat ini berdetak
Mulut membungkam,
gemuruh tidak juga padam,
Benarkah diam ?

Mungkin diam tidak berarti membisu.
Mungkin ...







0 komentar:

Tanya,

Wednesday, December 04, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Ah, saya mulai lagi bertanya dengan banyak pertanyaan. Adalah pertanyaan yang tidak ingin lagi ditanyakan tapi terus saja muncul dalam ketidaksadaran. Atau mungkin saya terlalu banyak melamun, membiarkan tanda tanya terus ada. Ah, saya mulai melantur lagi.

Ah, saya mulai lagi  dengan pertanyaan. Memalukan. Tidak ada jawabannya lagi. Kemudian lalu apa.
Ah, saya mulai lagi melantur.


Sudahlah.  

0 komentar:

Rasa,

Monday, December 02, 2013 Standy Christianto 0 Comments

Atas segala rasa yang pernah ada.
Atas segala rasa yang sekarang masih saja sama, aku tetap disini.
Atas segala rasa sampai sekarang, biarkan aku mati kelelahan.
Atas segala rasa biarkan saja aku mati dengan perlahan, itu lebih baik.
Hari mengular dengan ajeg. Tidak berubah. Tidak juga bergerak.
Atas segala rasa yang  tetap terjaga agar tidak terkontaminasi benci.
Atas segala rasa yang sama agar tidak kalah dengan arogansi.
Atas segala rasa yang penuh konsekuensi.
Tidak apa, ini pilihan. Titik.

0 komentar: