Monday, September 05, 2022 Standy Christianto 0 Comments

Menulis adalah semacam terapi saat kata-kata tidak lagi memulihkan. Maka “alienasi dari trasendensi” adalah yang tepat. Alienasi dan trandensi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Setiap bangun pagi, atau malam sebelum tidur, saya selalu punya cara untuk mencoba memahami segalanya, entah kemudian bertanya kemudian lupa atau terus bertanya kemudian menjawab sendiri. Pernah juga merasa terasing dalam hiruk pikuk, atau juga merasa ramai sesak. Entah dengan buku-buku, atau orang disekeliling.

Manusia akan mengalami alienasi. Kata Marx, manusia akan terdesak karena dituntut karena paksaan ekonomi, kemudian hanyut teralienasi. Merasa terasing. Dalam tekanan manusia hanya bisa mengadu kepada hal trasendensi yang menjadi candu. Karena agama hanya menawarkan pil manis, namun tidak realistis.katanya, manusia dibodohi oleh itu. Saya bukan penganut marx, juga tidak pernah membaca sampai selesai seluruh karyanya.

Saya membuat ini, tidak juga bermaksud melemah dengan rintihan pilu. Biarkan ruang ini menjadi ruang refleksi. Bukan pelarian dari kemunafikan atau jadi tempat mengadu kepada hal transenden. Lagi pula ini juga bisa ruang gugatan terhadap berbagai hal. Hal yang tidak terpahamkan.

Kemudian tulisan ini menyaru kuat dalam dominasi warna putih, yang menurut saya, putih adalah bentuk apa adanya. Tanpa tendesius apa pun.

Tentu ruang ini bukan kitab suci yang tidak boleh digugat. Atau akan dibela sampai mati. Bisa ditafsirkan semaunya pembaca. Ada ruang kritik di kolom komentar. Ruangan ini sifatnya permisif, karena bisa saja karena keteledoran asal comot metodologi berpikir, yang malah mengaburkan pandangan. Atau kabur dalam sok-sokan berfilsafat.

Kembali ke alienasi dan trandensi. Pertanyaan tidak selalu menemukan jawaban. Dalam puisi Brahmoedya, di zaman aksial. Pencarian atas jawaban sudah dimulai dari jaman mula-mula saat agama belum lahir. 

“siapakah yang tahu dan siapakah yang bisa memastikan, kapan dia dilahirkan dan kapan datangnya ciptaan ini?
Dewa-dewa lebih dahulu daripada penciptaan ini. Siapa yang tahu kapan dia pertama kali mewujud?
Dia, asal usul pertama ciptaan ini, entah dia yang membentuk atau tidak,
Mata siapa yang mengawasi dunia ini dari langit tertinggi, dialah yang paling mengetahuinya – atau barangkali dia tidak tahu”

Seorang bijak akan terus bertanya, mungkin tidak akan terjawab. Namun proses itu yang akan menjadi inti. Justru yang tidak terpahamkan akan selalu menarik. Seperti proses mencari Tuhan/tuhan, tidak ada yang bisa membuktikannya. Namun perdebatan itu terus menerus. Menggumuli hal trasenden adalah kesenangan. Terus bertanya dalam keterasingan adalah kebiasaan.

Kemudian, proses berpikir akan seperti ombak, gulungan yang baru akan meniduri yang lama. Justru ini akan mengasyikan. Ini adalah rekaman dari segala proses itu, yang suatu hari mungkin hanya akan menjadi sampah kenangan.


Demi segala kerendahan manusia yang selalu ingin tahu, saya perlu ruangan persis saat duduk di  atas kloset, terus berpikir dan berpikir, bertanya dan terus bertanya, saya ingin punya rekaman atas pertanyaan itu. 

You Might Also Like

0 komentar: