Pindah Blog

Saturday, August 27, 2016 Standy Christianto 0 Comments

Saya sudah bermigrasi ke https://standychristianto.wordpress.com/ 
Karena wordpress lebih read-able. 

0 komentar:

Saya, Gerakan Mahasiswa, dan Tabrak Lari.

Thursday, June 16, 2016 Standy Christianto 0 Comments

Hari itu saya  ingat betul, ingin sekali melihat demostrasi UKT di Kampus Unsoed. Sehari sebelumnya saya sengaja ke kampus untuk mengenang tempat proses di kampus sebelum saya berangkat kuliah di negeri yang jauh.  Saat itu, saya mengamati kampus sedang panas dengan pihak rektorat, ada banner yang dicorat coret, juga ada tulisan proganda di sudut – sudut kampus : turunkan UKT. Ini masih sama waktu jaman saya, tuntutannnya masih sama, tapi nama gerakannnya beda. Dulu namanya #SaveSoedirman, tanggalnya 12-12-12. Sekarang Sodirman Melawan, tanggal 16-06-2016. Akhirnya, coretan – coretan di pamflet yang ditempel, banner yang di pasang di lapangan sudut fakultas, dan broadcast media sosial yang masuk, mengingatkan saya beberapa tahun yang lalu.

Hari itu, tepat tanggal 16-06-2016. Sebagai alumni, tentu saja, saya sudah tidak pantas untuk merecoki aksi yang digalang oleh adik-adik itu, dan juga tidak pantas untuk ikut demo lagi. Saya sudah meninggalkan kampus cukup lama. Tapi euforia itu masih tetap ada.

hari itu, di pagi hari saya sering berefleksi : gatal juga lihat kampus yang sedang ramai, tapi kan proses itu tidak mungkin bisa berulang ? Saya sudah menjadi bagian masyarakat, dan sudah tidak bisa lagi kembali menjadi bagian dari gerakan mahasiswa, bercampur dengan mereka. Misalnya, dengan Ikut demo. Tapi disisi lain, saya berrefleksi : ikut nonton saja kan tidak apa-apa, sembari membandingkan dengan ingatan di masa #SaveSoedirman.

Di atas sepeda motor, saya masih berpikir, apakah saya langsung untuk ke kantor, atau pergi memutar jarak yang lebih jauh untuk melihat aksi demostrasi. Hanya untuk mengenang masa lalu. Di tengah perjalanan, saya masih ragu. Jika saya ikut melihat, berarti saya belum move on sebagai aktivis mahasiswa, sedangkan saya sudah lulus cukup lama.

Akhirnya di perempatan saya memilih belok kanan, memutar jarak yg lebih jauh untuk sekedar melihat aksi demostrasi yang dilakukan adik – adik itu. Dengan saya yakin untuk belok kanan. Ternyata tidak disangka motor saya ditabrak dari belakang. Saya terjatuh dari motor, dan motor terpental sejauh 10 meter dari posisi semula.  Pelakunya, mobil xenia berwarna putih plat B 1754 TZN lalu entah kemana. Dan saya ditinggal di rumah sakit sendirian.

Singkat cerita, saya tidak jadi melihat aksi besar – besaran ‘Soedirman Melawan’.  Hasilnya, saya melawan marah sendiri karena ditabrak lari.

Di dalam rumah sakit dengan badan terbaring lemas, dan menahan kaki yang kesakitan saya berpikir, mungkin saya sudah terlalu tua untuk menonton aksi seperti itu. Saya seringkali tidak sadar bahwa saya sudah tidak lagi menjadi mahasiswa yang dulu.  Saya seringkali tidak sadar, bahwa mnejadi aktivis mahasiswa sudah usai, dan pertanyaan untuk berkontribusi kepada masyarakat paska mahasiswa yang paling dibutuhkan saat ini.

Proses akan berpengaruh terhadap apapun. Sekarang saya ingin sekali membantu mahasiswa untuk mencapai keinginannnya. Sebagai mahasiswa, yang sering nongkrong di sekre, saya tentu ingin sekali menikmati proses itu lagi . Tapi sekarang sudah tidak bisa. Saya hanya bisa membantu dengan apa yang telah saya miliki sekarang.


Hari itu, saya kembali mengingat mimpi untuk bisa kuliah di negeri yang jauh. Sebagai mahasiswa yang “tinggal” di sekre, sampai lupa waktu kuliah, saya mengerti betul, apa yang tidak bisa ditinggalkan sebagai fitranya menjadi mahasiswa, yaitu keinginan untuk kehidupan lebih baik bagi dirinya dan kontribusinya untuk masyarakat. Sekarang, saya ingin sekali berbagi dengan adik – adik yang ingin bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah lagi. Mungkin tidak semua orang ingin kuliah lagi. tapi jika ada keinginan yang sama. Mengapa saya tidak berbagi ? Mungkin hanya itu yang bisa saya lakukan untuk terlibat. 


0 komentar:

Generasi Millenial dan Perubahan*

Wednesday, May 11, 2016 Standy Christianto 1 Comments

*tulisan ini pernah diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan dalam rangka 70 Tahun Indonesia Merdeka

Tujuh puluh tahun bukanlah usia yang dibilang muda. Jika ini adalah manusia, tentu ini sudah menjadi manusia yang renta. Ia hanya manusia uzur yang menunggu mati. Manusia yang tidak lagi bergairah bicara tentang perubahan. Padahal perubahan dan kemerdekaan merupakan sebuah garis lurus dari peradaban.

Pemuda menjadi bagian yang penting dalam mempertahankan kemerdekaan sejak dulu, sekarang, atau nanti. Kita perlu menyoroti kata – kata Soekarno yang patut direnungi, “berikan aku seribu orang tua niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya, beri aku sepuluh pemuda, niscaya kuguncangkan dunia,”

Setiap peradaban memiliki jamannya sendiri. Beberapa tahun belakangan dan tahun ke depan akan menjadi milik generasi millenial. Terminologi ini adalah generasi yang dimiliki oleh orang yang lahir pada tahun 1980 – 2000-an, yang lahir dari gempuran era digitalisasi.  Generasi millenial muncul untuk menjadi generasi yang paling canggih, yang lekat dengan teknologi seperti Ipod, Mp3, kamera, ponsel. Generasi ini disebut sebagai anak – anak remote control karena mereka menghadapi perubahan terus menerus

Ironi tentang generasi milenial, Majalah Times edisi Mei 2015 membahasnya dengan judul cover ‘the me me me generation, milenial are lazy, entitled narcissists, who still live with their parents’, peradaban ini adalah milik generasi berkarakter narsistik, apatis, dan cenderung individualis. Hal ini didasari karena kedekatan dengan internet dan media sosial yang bisa diakses sembari bersantai di kamar dengan gadget di genggaman tangan. Teknologi adalah mainan baru yang membuat asyik dengan dunianya sendiri, menjadi generasi yang nyaman dalam kesendiriannya, bahkan apatis.
Jika kita pengguna internet dan media sosial, mungkin kita menjumpainya di lini massa dengan foto narsis dan nyinyiran khas generasi ini.

Di samping keadaan itu, tahun 2020 kita akan menyambut bonus demografi, artinya generasi milenial akan berada di usia yang produktif, atau lebih jelasnya penduduk dengan usia produktif menjadi sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Ini tantangan terbesar dalam menyambut indonesia ke depan.

Kata “perubahan” masih melekat dalam diri pemuda sampai sekarang. Pemuda adalah masa depan bangsa, begitulah kira – kira yang selalu didengungkan oleh para pemimpin. Namun jika melihat realita pemuda, khususnya yang lahir ketika digitalisasi menggempur peradaban sekarang ini, tentu kita pantas bertanya dengan jujur : masihkah relevan mengandalkan pemuda di era digitalisasi jaman sekarang ?

Jika  berharap perubahan dapat berawal dari media sosial, tentu kita perlu melihat contoh dari negeri yang jauh, pada awal tahun 2011, Khaled Said, seorang pemuda mesir, meninggal tidak wajar. Ia menjadi korban penyiksaan di sebuah warnet di Alexandria oleh polisi. Mulai dari kejadian tersebut, kemudian muncul akun Facebook sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk melakukan diskusi untuk mengkristisi pemerintah Khusni Mubarok saat itu sembari mengumpulkan ide untuk melakukan perubahan bagi negerinya, kemudian di tahun yang sama, beberapa bulan berikutnya, muncul gerakan sosial menduduki lapangan Al-Tahrir, dan kita tahu akhir dari cerita tersebut. Setidaknya, ada gerakan perubahan disana.

Di Tiongkok daratan, tepatnya Hongkong, kurang lebih sama, Joshua Wong, Seorang pelajar yang memimpin ribuan pengunjuk rasa untuk turun ke jalan memprotes China yang tidak memberikan kebebasan Hongkong untuk menentukan nasibnya sendiri, hanya melalui media sosial twitter, mereka yang setuju dengan aksinya memposting foto – foto dan melakukan protes, demi sebuah perubahan.

Mesir dan Hongkong adalah contoh dari negara yang masyarakatnya mampu menggunakan sumber daya manusia, teknologi, dan media sosial yang terhubung satu sama lain, demi memperbaiki bangsa.
Di Indonesia sudah pernah terbukti menjadikan internet sebagai gerakan baru untuk menjadikan Indonesia untuk melawan korupsi. Bermodalkan genggaman tangan, dimulai gerakan satu juta facebook untuk mendukung pemimpin KPK. Tapi melawan korupsi tidak dapat dilakukan satu hari. Akhir- akhir ini, ada indikasi kriminalisasi KPK kembali, namun media sosial tidak terjadi lagi untuk anti-kriminalisasi KPK yang sekarang ini, artinya belum mampu menjadi gerakan perubahan besar yang permanen dan konsisten, hanya berupa gerakan spontanitas, latah, dan seakan ikut-ikutan.

Hal ini menjadi ironi, mengingat Indonesia merupakan pengguna facebook terbesar keempat  dan pengguna twitter terbesar kelima di dunia. Bahkan, twitter telah membuka kantor di Indonesia, ini menunjukan bahwa Indonesia adalah santapan empuk para pebisnis media sosial. Diantara pengguna itu, adakah salah satu dari kita untuk berniat memposting tulisan yang menggugah kehausan terhadap perubahan bagi negeri, selain pamer foto selfie?

Sebuah penelitian mengungkapkan media sosial sangat dipengaruhi oleh kelas menengah, merujuk penjelasan dari politicawave, kelas menengah adalah mereka yang secara ekonomi  tidak bisa dibilang kaya, juga tidak miskin. Berada di kelas antara kelas atas dan bawah secara kuantitatif ekonomi.

Kita  sering menjumpainya di lini massa berkicau tentang apa pun, responsif terhadap hal – hal yang tidak sesuai menurutnya. Namun lemah dalam memberikan gerakan sosial. Spesialisasinya berkicau di lini massa ribuan kali namun enggan bergerak untuk berubah. Kelebihannya mereka  menguasai ruang publik di teknologi dan media sosial. Mereka juga sangat mandiri dalam mencari informasi dan data, namun apatis.

Merujuk itu, saat ini kelas menengah dikuasai oleh usia produktif, kebanyakan dari mereka adalah pemuda dan mahasiswa. Sejalan dengan generasi millenial, kelas menengah menjadi gerakan sebatas kicauan di ruang – ruang maya dan internet.  Kelak di tahun 2020 saat menyambut bonus demografi, mereka menjadi pemegang posisi strategis di pemerintahan, swasta, dan masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan bisa jadi koreng yang menjalar di tubuh negara karena dilahirkan dari kondisi yang serba ada, enak dan nyaman, karena tanpa melalui perjuangan mengangkat senjata.
Bukan sesuatu yang kuat yang dapat bertahan hidup, namun yang mampu beradaptasi dengan perubahan jaman. Kita tentu ingin Indonesia yang hidup seribu tahun lagi, bukan sekedar hidup seratus tahun tapi hidup sebagai bangsa inlander, bangsa yang disebutkan oleh Soekarno sebagai bangsa yang lemah dan terjajah. Mungkin saja, terjajah oleh internet.

Musuh yang sesungguhnya pasca kemerdekaan adalah bangsa sendiri, bukan bangsa asing. Generasi millenial harus menjadi subjek terhadap perubahan itu sendiri, bukan objek perubahan. Karena jika tidak, tanpa disadari generasi ini hanya menjadi pengguna yang terlena dengan arus digitalisasi. Suatu saat nanti, kita hanya menjadi penonton selayaknya penonton sepak bola  berjersey  yang sedang duduk di  tribun stadion, kemudian mengolok – olok pemain di lapangan karena tidak becus bermain bola, akan tetapi sesungguhnya kita adalah pemain tersebut.

Sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia, tujuh puluh tahun adalah usia relatif  masih muda menjalankan demokrasi. Apalagi pasca keruntuhan orde baru, yang membuat semuanya serba terbuka, tidak ada lagi pembatasan pendapat dan media. Hal tersebut menjadikan kita berlebihan menanggapi kebebasan. Sebagai pemuda yang berada di peradaban internet dan media sosial yang merajarela dan menghabisi waktu permainan, lalu pertanyaan selanjutnya adalah apakah kebebasan dan kenyamanan yang telah diperoleh ini akan berkontribusi untuk perubahan.

Paling sedikit, kita bisa merasakan keresahan atas zona nyaman atas ini. Bila kita berpikir bahwa ada memang tidak ada bagian yang ideal dari suatu negara. Tidak ada sesuatu yang sempurna dalam tatanan negara bahwa ketidakadilan pasti ada, ketidakberbihakan terhadap kaum miskin pasti ada. Semuanya benar.

Kita perlu disadari, kemerdekaan memang bukan menjadi jalan akhir dari sebuah perjuangan. Namun adalah jalan pembuka bagi setiap orang dalam tatanan masyarakat untuk bisa menentukan nasibnya sendiri, tanpa ketergantungan bangsa lain. Dengan kata lain, kita adalah bagian dari sebuah perlawanan atas kenyamanan teknologi, internet dan media sosial. Karena tanpa disadari atau tidak, peradaban ini membuat generasi ini menjadi sangat angkuh terhadap perubahan.


Di akhir tulisan ini, saya hanya ingin menggugat kenyamanan generasi millenial, generasi yang dilahirkan di tempat tidur empuk, yaitu teknologi. Generasi yang ditemani oleh gadget ketika bangun pagi sampai tidur kembali. Indonesia memanggil kita dengan nama ‘perubahan’ lalu pantaskah kita berdiam diri asyik dengan gadget. Usia kemerdekaan yang ketujuhpuluh tahun tidak akan berarti apa – apa jika kita merayakan dengan rutinitas, dengan berdiam diri sembari menikmati gadget, dan memposting “Dirgahayu Indonesia ke 70 tahun”

1 komentar:

#16

Monday, February 15, 2016 Standy Christianto 0 Comments

Ribuan jarak dimulai dari satu langkah kaki. Keinginan kecil berkelindan dengan mimpi yang lama –lama membesar. Keraguan yang kemarin, akhirnya menjadi sebuah kepastian. Saya percaya setiap orang punya energi positif dalam dirinya. Apalagi kalau energi itu berada di sebuah ruangan yang memiliki energi yang sama. Hari itu saya merasakannya.

Saya sudah lama tidak berpikir keras dan berperasaan lunak. Sudah lama saya menyimpan sisa – sisa histeria kalau di kerumunan orang banyak. Lebih baik menyelinap di sudut lalu memperhatikan seksama orang – orang yang bersorak. Tapi hari itu, saya pemainnya.

Semua bersorak. Dan saya merasakan ada sesuatu yang baru di tengah kerumunan itu.

Setiap kali saya mengingat hari itu, semakin percaya bahwa ingatan positif akan membawamu selalu semangat menempuh hari – hari yang akan datang. Saya akan merawat ingatan ini. Ingatan yang sorak sorai penuh keceriaan.

Memang benar,  kamu perlu memberikan dirimu untuk bergerak, menggoyangkan kaki, menari, dan berjoget indah. Yang indahnya tarian itu hanya kamu yang tahu. Tidak peduli dengan orang lain. Yang penting bergerak dan menari.

Suatu saat nanti, saya akan membuka catatan – catatan ini dengan pelan – pelan, memperhatikan foto orang – orang yang dulu ikut dalam memberikan energi ini. Suatu saat saya akan berterimakasih untuk setiap simpul yang saling memberikan diri untuk saling menyemangati bagi setiap orang yang lelah dalam perjalanan.

Terimkasih teman – teman, saya berhutang keceriaan dengan kalian.

PK 55 Pusaka Nusantara





0 komentar:

Bangun!

Wednesday, January 20, 2016 Standy Christianto 0 Comments


Kamu sudah terlalu lama beristirahat, banyak hal menunggumu di depan sana. Jangan terkesima dengan euforia, jangan terlalu lama merayakan kemenangan. Waktu terus berjalan. Pagi tidak bisa menunggumu tidak terbit, hanya karna kamu belum bangun dari kasurmu. Bergeraklah, cuci muka!

Buku – buku disampingmu, rindu untuk diraba dengan penuh gairah. Layar laptopmu menunggu untuk diperhatikan dengan seksama, tutsnya sudah lama tidak kamu jamah. Pergilah ke kamar mandi, bangun dan bergeraklah!

Lupakan kebiasaan buruk yang menunggu sampai senja, lakukan sepagi mungkin, bangunlah sebelum ayam berkokok. Bergeraklah!

Lihat pagi yang kamu sering kali kamu doakan, agar lebih baik, agar doa – doamu terkabul. Hari tidak lagi menungggu keresahanmu, hari – hari sudah bosan dengan seribu alasanmu. Berhentilah gunakan otak pintarmu untuk mencari – cari alasan.

Pergilah ke tempat – tempat dimana ilmu bisa dicari, bangunlah pagi sebelum matahari terbit untuk memulai harimu. Kamu sudah terlalu beristirahat. Jangan tidur lagi!

0 komentar:

Euforia Kemenangan

Sunday, January 03, 2016 Standy Christianto 0 Comments

Aku harus berterimakasih kepada Pemilik semesta dan segala isinya, karena Dia yang memberikan kesempatan untuk menikmati proses yang berjalan waktu demi waktu diantara kegalauan demi kegalauan. Hampir kehabisan tenaga aku dibuatnya , tapi menyerah bukan lah pilihan untuk mereka yang sudah berani mempersiapkan kekalahan. Akhirnya, doa itu pun dijawab.

Ini tahun baru, dan doaku didengar. Aku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia. Bahwa akhirnya titik terang itu kelihatan. Labirin waktu yang sempat membuatku bingung, ternyata punya jalan keluar. Paling tidak, aku telah mengakhiri doa terbaikku, dan mulai membangun doa lagi.
 
Terimakasih Pemilik semesta untuk segala kesempatan. Entah Bagaimana aku mengucap syukur. Lidahku kelu dan pikiranku melambung ke belakang, kekuatan yang bersumber dari kekuatiran malah menjadi kesenangan tersendiri. Terimakasih semesta.

Mulai sekarang, aku tidak miliki ambisi sehebat kemarin. Aku akan mengikuti alur dan angin yang berhembus, kemana angin itu membawa pergi. Aku tidak punya lagi keinginan yang memuncak selain menjalani hari – hari ini lebih teliti dan detail mempersiapkan mimpi dan imajinasi yang ada.

Aku ingin menjadi pribadi yang tidak pernah lelah mengucap syukur. Proses ini menyadarkan bahwa, “setia pada proses” itu lebih baik dari apapun. Mungkin aku beruntung, punya rekaman atas proses itu, sehingga aku bisa melihatnya dengan penuh antusias untuk waktu yang telah lewat, karena tidak ada fragmen waktu yang terjadi sepotong.  Posisi pada titik ini adalah konsekuensi atas keberadaan setiap bagian yang selalu terkait : orang – orangnya, gagalnya, lelahnya, kegalauannya, dan semuanya yang memberikan kekuatan untuk terus hidup.

Setiap tahun punya ceritanya masing – masing, dan kiranya tahun ini menjadi tahun yang terbaik dari sepanjang tahun yang lalu, karena tahun ini menjadi tahun yang menggenapi pertanyaan – pertanyaan yang lalu, kekuatiran yang lalu, juga ketakutan yang lalu.

Terimakasih  Tuhan yang di atas sana, Terimakasih Tuhan yang Maha Baik dan Maha Asyik, Terimkasih Pemilik semesta, Terimkasih telah menjawb doaku di tahun yang lalu, terima Kasih sekali lagi ...

0 komentar: