Perjalanan,

Monday, December 30, 2013 Standy Christianto 1 Comments

Labirin duka selimuti gedung lusuh kota. Aku mencari realitas yang benar – benar terjadi. Tertunduk mencari siapa tahu tercecer di jalan. Cibiran demi cibiran tergaung pelan. Detik demi detik berada dalam jam dinding yang tergantung. Aku di stasiun kota. Disanalah aku diantar dan gemetar. Menuju kereta yang membawa pergi dengan mimpi.

Aku tidak peduli. Dengan gagah berani, duduk di bangku paling pojok. Keasyikan dalam lamunan mengantar lirih. Kemana aku pergi tidak ada yang tahu. Lagipula siapa yang mau tahu. Dari pigura jendela bumi terlihat angkuh. Kering kerontang dengan tanah yang pecah -pecah. Haus akan air hujan. Yang setiap kali dihujat oleh orang yang rapi. Tapi hujan begitu  dirindukan oleh mereka. Dan mungkin aku.

Aku perhatikan. Ada orang yang tertawa kecil, asyik dengan yang lain. Aku masih saja diam. Menikmati perjalanan demi perjalanan. Sesekali aku terdiam, sengaja untuk perhatikan jalanan. Ada orang yang lalu lalang. Kasihan. Mungkin sedang mencari jalan keluar dengan motor berkecepatan tinggi, dengan muka yang tergesa. Berlari dengan sekuat hati. Berlari kencang setengah mati. Memaksa diri demi apa yang dicari. Memaksa diri untuk terus menerus menghakimi diri. Mungkin aku juga demikian.

Aku setengah berdiri. Lalu merunduk. Mencari barang yang baru saja jatuh. Aku meraba lantai kereta. Gelisah tidak tentu arah. Terus menerus mencari arah yang pasti. Dimana barang yang dicari. Hei, ada yang mencuri. Siapakah. Aku malah ketakutan. Kalau hilang tidak terganti. Aku akan menyesal seumur hidup. Dimanakah. Aku limbung selimbungnya. Hei, pencuri sialan. Dimanakah. Siapakah yang mau mengaku. Semua diam. Dan aku tertunduk malu. Dunia ini penuh dengan pencuri. Aku yang tidak ahli menjaga barang.

Matahari turun dengan perlahan. Warnanya kemerahan agak kekuningan. Aku nikmati ketenangan sendirian. Begitu indah. Hidup untuk dinikmati seperti ini. Tanpa tendesius apa pun. Dengan segala kerendahan, bunuh segala angkuh. Kepala diletakan di lengan. Mata perhatikan jendela. Meresapi udara lewati ventilasi dengan sepoi. Fiuhhh.. begitu melegakan. Menarik napas dalam, seharusnya hidup seperti ini.

Aku sendirian terbunuh sepi. Yang lain tertidur pulas. Aku mencari teman.  Aku ragu dan takut, tidak terbiasa dengan orang asing. Ada wanita duduk terpojok sendiri. Ia sedang menikmati lagu dan terlihat sedih. Ada apa, kataku dalam hati. Dunia begitu indah. Mengapa sedih. Ia tersakiti. Ia terluka terlalu dalam.

Ia terlihat asyik dengan cerita. Aku menikmati tiap jengkal tawa. Ia bicara dengan meledak – ledak. Sesekali angguh, menunjukan kalau semua wanita tidak pantas disakiti. Aku setuju. Aku terdiam. Asik dengan cerita. Sesekali, aku timpali. Mengapa ada wanita seperti ini. Tawanya begitu menyejukan. Candanya membumi. Pikirannya tak kenal batas. Sembari kereta jalan, tak sadar aku mengaguminya.

Aku ajari nikmati senja di pigura jendela. Senja soal kebebasan, tak tergantung apa pun. Hari – hari untuk dinikmati bukan untuk disakiti. Pelarian tidak pernah habis. Hidup dengan tujuan dan mimpilah yang kekal. Jangan gentar, tidak ada yang bisa sakiti lagi. Ia tampak bersemangat. Ia bisa nikmati hidup. Ia bisa nikmati hari lagi. Mimpinya kembali.

Aku senang. Ia sudah bisa berlari kencang. Tapi Ia bilang mau pergi. Aku kuatir ia tidak kembali. Ia bilang mau kejar mimpi. Baiklah, aku setuju.

Bangunlah mimpi setinggi-tingginya. Mimpilah yang kekal. Kejarlah bahagianya. Manusia mencari bahagia. Kereta adalah perjalanan kebahagiaan. Persetan dengan tujuan akhir stasiun. Perjalanan yang nyata. Tujuan seringkali salah. Carilah perjalanannya, kataku. Semesta akan menjagamu. 

Aku melihatnya berdiri, tinggalkan tempat duduk. Aku melihatnya dengan lirih. Aku bersembunyi dengan muka tenang. Karena mukanya antusias. Aku senang. Tapi ia mau pergi. Tidak apa – apa. Aku sudah cukup senang.

Ia berhenti di stasiun terdekat. Aku melihatnya turun. Aku tidak bisa menahannya pergi. Ia melambaikan tangan. Aku lambaikan tangan juga. Aku melihatnya pergi. Aku mengagumi perlahan dari jauh. Sedikit demi sedikit tubuhnya hilang dari jendela. 

Ah, aku sendiri lagi. menikmati perjalanan. Kereta berisik, mengganggu perjalanan. Orang – orang tidak lagi menarik. Sampah berserakan. Botol bekas minuman dibuang sembarangan. Aku tendang sekerasnya. Aku kesal. Aku salah langkah. Aku tidak cekatan. Bodohnya. Aku dibunuh mimpi yang aku ajari sendiri. Aku ditinggal mati kesepian. Aku dibiarkan membunuh sepi sendiri.

Manusia punya cara masing – masing untuk mengakui keberadaan. Bagiku, ia masih ada dan terjaga itu cukup.

Aku mencoba menenangkan diri. Setenang mendengarkan lagu setengah volume. Melihat sesekali ke jendela. Tanaman hijau meredakan letih. Pematang sawah membuat pola asik. Aku terdiam. Merenung. Aku sedang menikmati perjalanan. Aku pikir suatu saat apapun akan kembali termasuk ketenangan yang sudah lama pergi. Aku layak berterimakasih pernah menemani perjalanan yg membosankan.

Kereta akan kembali ke jalurnya.  Aku menikmati sendiri lagi. Di atas rel yang bergejolak. Di tempat duduk yang dulu juga sendiri. Mengapa aku linglung. Toh tiap hari juga sendiri. perjalanan yang kadang angkuh. Mencari jalannya sendiri. Sudah dipenghujung jalan. Aku masih menatap lirih. Membangun jalan sendiri. Menikmati stasiun yang sebentar lagi aku akan turun. Tinggal di kota yang mencari mimpi juga. Aku belajar menjadi aku.  

311213. Di kamar..

You Might Also Like

1 comment:

  1. Ahhhh.....aku tau cerita iniii...akuu tauu akuu tauu,hahhha....kamu tlah memilih...dan itu pilihanmu,bukan ?

    ReplyDelete