Monday, September 05, 2022 Standy Christianto 0 Comments


Ruangan itu tampak besar. Meja sengaja disusun melingkar dengan microphone di meja, menandakan itu ruang rapat. Suasana pun tampak tegang. Maklum, itu rapat petinggi lembaga pendidikan tinggi.
Disisi lain, siapapun yang baru pernah disana akan merasa nyaman. Sandaran kursinya tinggi dan empuk. Ruang pendingin pun memanjakan suhu di sekitar. Sampai – sampai peserta rapat sesekali tertidur.
Di tengah kedinginan, pikiran saya melesat jauh ke belakang , dalam hati muncul pertanyaan, apakah rapat – rapat penentuan bayaran kuliah sebelumnya juga seperti ini?
Rapat dibuka dengan perbandingan nilai nominal uang kuliah di beberapa universitas lain.  Layar menunjukkan bayaran tertinggi sampai terendah. Saya tidak melihat biaya kurang dari 3 jt/semester disana. Mudah-mudah saya tidak salah melihat bahwa biaya termurah adalah 4 juta.  Saya pikir, itu representatif dari bayaran kuliah Perguruan tinggi negeri di Indonesia saat ini. 
Namun saya tidak habis pikir dengan respon petinggi – petinggi lembaga pendidikan ketika meilhat layar tersebut. Saya juga tidak bisa menebak alasan mengapa  pemimpin rapat menunjukan biaya perguruan tinggi lain di awal rapat.  Yang saya tahu, setelah itu mereka mulai menentukan ragu – ragu dengan membandingkan nominal biaya kuliah tempat lain.
Buat saya ini mungkin gengsi. Tapi saya juga bisa salah. Mungkin Para petinggi tidak rela kampusnya lebih murah dari kampus lain.  Kalau biaya kuliah murah artinya mereka bekerja di kampus yang murah.  Kampus yang murah tentu tidak sesuai dengan pakaian dan mobil mereka yang necis.
Logika saya tampaknya tidak bisa menerima bahwa mencetak manusia Indonesia yang cerdas harus mahal. Dosen saya suatu kali pernah cerita, ketika mendapatkan kuliah di India, ia diajarkan dengan fasilitas yang minim. Mereka mengunakan kapur. Saya percaya dengan dosen itu, karena saya pernah menonton film “3 idiots”. Mereka juga mengunakan kapur.
Tapi jangan tanyakan seberapa cerdasnya orang India. Saya tidak perlu jelaskan panjang lebar, karena sudah ada motor gede “made in India”. Sampai hari ini India punya satelit “made in India”  yang setara dengan Amerika dan Perancis. Mereka menunjukan bahwa menjadikan manusia yang unggul tidak harus mahal dan fasilitas yang mewah.
Saya juga tidak habis pikir dengan logika pendidikan hari ini. Saya melihat penentuan biaya kuliah laiknya pelelangan. Hukum tawar menawar lebih berlaku di rapat ini daripada pertimbangan rasional kemampuan materi orang tua mahasiswa. Perdebatan seputar Jurusan yang sepi peminat seharusnya lebih murah. Jurusan primadona layak untuk lebih mahal. Ini lebih mirip rapat perusahaan daripada rapat lembaga pendidikan.
Mungkin ini tidak bisa diambil mentah – mentah. Tapi realitasnya daya intelektual kita akan terbatas jika perdebatan akademis masih berkutat pada fasilitas pendidikan. Saya juga tidak menafikan bahwa fasilitas juga pendukung. Tapi Kalau kita bisa memakai kapur, mengapa harus memakai spidol. Kalau sepakat pakai spidol, berarti masalahnya bukan pada spidol, tapi akutanbiltas dari harga spidol. 
Rasanya, teman saya benar bahwa pendidikan kita mengalami kemunduran. Mungkin Plato juga menyesal ide Academus, cikal bakal universitas, untuk mencetak/mendidik seorang yang intelektual, (Plato lebih setuju mengunakan istilah diskusi, dari pada mendidik). Tapi malahan menjadi proyek fasilitas bagi petinggi Academus sekarang.
Saya merasa kurang adil jika mahasiswa ajari untuk kritis, tapi tidak boleh mengkritisi gurunya sendiri yang  tidak terbuka dalam menentukan fasilitas pendidikan untuk muridnya.
Saya berada dalam satu kesimpulan di dalam rapat itu. Bahkan seorang petinggi lembaga pendidikan pun tidak peduli dengan keilmiahan dalam menentukan biaya.  Rasanya, mereka tidak peduli ada anak orang lain yang tidak bisa kuliah karena biaya kuliah yang kian mahal. Lalu, siapa lagi yang  masih peduli ?











You Might Also Like

0 komentar: